Jakarta, Indonara - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menegaskan pentingnya Polri mematuhi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) saat menangani anak-anak yang terlibat aksi unjuk rasa berujung anarkis maupun tindak kriminal.
Komisioner KPAI Sylvana Maria Apituley (tengah) saat memberikan keterangan di SMAN 7 Cirebon, Jawa Barat, Selasa (18/2/2025).
"Anak-anak yang diperiksa tidak boleh mengalami kekerasan, baik fisik maupun verbal. Proses pemeriksaan harus dilakukan maksimal 24 jam, dan tempatnya wajib dipisahkan dari tahanan orang dewasa," ujar Anggota KPAI Sylvana Maria Apituley saat dihubungi di Jakarta, Rabu (3/9).
KPAI menyoroti maraknya praktik mobilisasi anak dalam sejumlah aksi demonstrasi yang berujung kerusuhan di Jakarta dan berbagai daerah. Dalam situasi ini, KPAI meminta aparat kepolisian untuk tetap bersikap profesional, persuasif, dan humanis.
Selain itu, KPAI mendesak Polri segera mengusut aktor intelektual maupun provokator yang diduga sengaja melibatkan anak-anak dalam aksi kerusuhan.
"Kami berharap polisi bisa mengungkap siapa pihak yang memprovokasi dan memobilisasi anak-anak. Penegakan hukum harus dilakukan secara transparan, adil, dan tuntas," tegas Sylvana.
KPAI juga menilai pencegahan sistemik harus segera dilakukan agar kasus serupa tidak kembali terjadi di masa mendatang.
Berdasarkan data, rangkaian unjuk rasa di berbagai provinsi pekan lalu menelan sedikitnya 10 korban jiwa. Satu di antaranya adalah anak berinisial ALF (16), pelajar asal Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Banten, yang meninggal dunia saat menjalani perawatan di rumah sakit usai terlibat aksi di sekitar Gedung DPR/MPR RI pada Kamis (28/8).
Selain itu, sebanyak 20 anak lainnya dilaporkan mengalami luka-luka akibat kerusuhan. Mereka kini masih menjalani perawatan intensif di rumah sakit.