Kita sedang berada di pertengahan tahun
2025. Artinya, tinggal lima tahun lagi waktu yang tersisa untuk menepati janji
dunia: Sustainable Development
Goals (SDGs) 2030. Tapi mari kita jujur pada diri sendiri—apa benar
kita sudah melangkah ke arah itu? Atau kita masih sibuk berfoto di depan proyek
pembangunan yang membanggakan elite, tapi meninggalkan banyak warga dalam
gelap?
Tahun 2025 ini harus jadi alarm. Bukan hanya pengingat waktu, tapi juga pemantik perlawanan terhadap model pembangunan yang tak berubah sejak Orde Baru: seragam, vertikal, eksklusif.
Komitmen SDGs bukan soal proyek, apalagi sekadar laporan tahunan yang penuh jargon dan grafis. Ia adalah janji etis, bahwa pembangunan tak boleh meninggalkan siapa pun. Leave no one behind, katanya. Tapi faktanya, yang terus ditinggalkan tetap saja ditinggalkan. Yang tidak pernah punya akses, masih tidak dianggap. Yang tak bersuara, terus dibungkam oleh sistem yang memuja statistik tapi buta terhadap struktur sosial yang timpang.
SDGs tidak bicara netralitas. Ia bicara keberpihakan. Dan dalam 17 tujuannya, Tujuan ke-5 dan ke-10 secara jelas memandatkan penghapusan ketimpangan berbasis struktur, termasuk akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan, hingga ruang pengambilan keputusan. Tapi di negeri ini, kata “ketimpangan” sering hanya menjadi bahan seminar, bukan pangkal dari perubahan struktural.
Pertanyaannya sederhana: siapa yang memikul konsekuensi dari arah pembangunan yang seperti ini?
Lihat ke desa-desa. Lihat ke pasar, ke lorong-lorong kampung, ke ruang publik yang sunyi dari partisipasi kelompok rentan. Apakah mereka betul-betul merasakan pembangunan? Atau mereka hanya penonton dari cerita besar yang ditulis segelintir orang yang punya kuasa bicara?
Negara ini sebenarnya sudah punya arah yang bisa ditarik ke ranah keadilan. Kita punya Astacita, delapan cita-cita strategis dari Presiden. Di antaranya: memperkuat kehidupan demokratis, memperluas perlindungan sosial, mempercepat keadilan pembangunan. Tapi semua itu akan jadi wacana kosong jika kita tidak mau menyentuh akar masalahnya: pembangunan kita terlalu netral terhadap ketimpangan.
Dan di titik inilah kita harus bicara keras soal Pengarusutamaan Gender (PUG)—sebuah strategi pembangunan yang, ironisnya, justru terus dimarginalkan. Padahal PUG adalah instrumen konkret untuk memaksa negara bertanya: siapa yang tidak kita ajak bicara selama ini? Siapa yang terus-menerus tidak terlihat dalam penganggaran, perencanaan, atau forum partisipasi publik?
Netralitas kebijakan dalam masyarakat yang tidak netral adalah bentuk pembiaran. Kita bisa membanggakan bahwa program bantuan diluncurkan untuk semua. Tapi siapa yang bisa betul-betul mengaksesnya? Siapa yang harus memilih antara datang ke pelatihan atau menjaga anak? Siapa yang diam karena ruang forum hanya memberi panggung pada yang paling lantang dan paling mapan?
PUG seharusnya menjadi instrumen wajib, bukan sekadar “kelengkapan dokumen”. Tapi justru di sanalah ia sering berhenti. Lembaga-lembaga pemerintahan menyusun PUG hanya sebagai laporan formal. Mereka enggan berurusan dengan kritik, enggan menggoyang sistem, dan lebih nyaman menyembah angka rata-rata ketimbang mendengar suara paling kecil di pinggiran kampung.
Kita sedang kehabisan waktu. Lima tahun tersisa menuju 2030 bukanlah waktu yang cukup kalau kita masih takut berpihak. Kalau kita masih memuja pembangunan fisik tapi mengabaikan struktur sosial yang melanggengkan ketimpangan. Kalau kita masih memposisikan PUG sebagai beban, bukan sebagai kompas arah kebijakan.
Sebagai dosen dan aktivis yang berkali-kali menyaksikan langsung wajah pembangunan dari lapisan bawah, saya muak dengan kebijakan yang mengklaim inklusif tapi tak pernah benar-benar mendengar. Saya bosan membaca dokumen yang menyebut “komitmen terhadap kelompok rentan” tapi tidak mengubah apapun dalam praktiknya. Saya lelah melihat forum-forum partisipasi yang sebenarnya hanya memfasilitasi simbol, bukan suara.
Sekarang adalah waktu untuk bersikap: kalau pemerintah serius dengan SDGs dan Astacita, maka seluruh kementerian, dinas, dan unit layanan publik harus mulai dari pertanyaan ini—siapa yang selalu tertinggal dari kebijakan ini?
Kita tidak sedang minta perlakuan istimewa untuk siapapun. Kita sedang minta tanggung jawab negara untuk tidak buta terhadap sejarah ketimpangan sosial. Dan itu bukan basa-basi moral. Itu adalah dasar keberlangsungan republik ini. Sebab negara yang gagal menjangkau seluruh warganya, cepat atau lambat akan hancur oleh ketidakpuasan yang dibungkam terlalu lama.
PUG bukan alat politik identitas. Ia adalah cara berpikir yang sehat: bahwa tidak semua orang bisa diperlakukan sama dalam kondisi yang tidak setara. Bahwa keadilan bukanlah tentang “memberi sama rata”, tapi tentang memastikan semua orang bisa mencapai titik yang setara—meski jalannya berbeda-beda.
Tahun 2025 ini harus jadi alarm. Bukan hanya pengingat waktu, tapi juga pemantik perlawanan terhadap model pembangunan yang tak berubah sejak Orde Baru: seragam, vertikal, eksklusif. Jika kita masih menulis laporan SDGs sebagai formalitas, kalau PUG hanya jadi dokumen di laci Bappeda, maka mari kita akui saja: kita sedang gagal.
Dan kegagalan terbesar bukan karena kita tidak bisa. Tapi karena kita tidak mau berpihak. Dan jika kita tak segera mengubah arah, lima tahun ke depan hanya akan jadi repetisi kebijakan yang tak pernah menyentuh yang paling membutuhkan. Indonesia bisa saja mencatat angka pertumbuhan, tapi akan gagal menumbuhkan rasa keadilan. Karena yang tertinggal tak butuh belas kasihan—mereka butuh hak. Dan negara, sekali lagi, harus belajar membedakan antara menyentuh dan mengikutsertakan.
***
*) Oleh : Raden Siska Marini : Founder Ruang Aman, sebuah lembaga katalisator perubahan dan advokasi Pengarusutamaan Gender (PUG) berbasis komunitas. Saat ini aktif menulis, memoderasi diskusi publik, dan terlibat dalam perumusan kebijakan lokal di bidang infrastruktur inklusif dan pemberdayaan kelompok rentan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi indonara.id