Marine literacy adalah senjata pengetahuan. Di tangan perempuan, ia menjadi gerakan. Dan gerakan itu harus terus hidup—dari kampung pesisir hingga ruang kebijakan, dari laut hingga layar digital.
“Jika kamu merusak laut, kamu merusak
kehidupan.”
Kalimat itu bukan sekadar kutipan—tapi kenyataan pahit yang kini sedang terjadi
di Raja Ampat, sebuah surga laut yang perlahan terancam oleh kerakusan industri
tambang. Dan di tengah krisis ini, perempuan berdiri di garis depan, menjadikan
literasi kelautan (marine literacy)
sebagai strategi perjuangan.
Laut, Perempuan, dan
Ancaman Tambang
Raja
Ampat bukan sekadar gugusan pulau indah di Papua Barat Daya. Wilayah ini adalah
rumah bagi lebih dari 75% spesies karang dunia dan lebih dari 1.600 spesies
ikan. Ia juga ditetapkan sebagai Geopark
Global oleh UNESCO, mencerminkan betapa berharganya ekosistem ini bagi
dunia.
Namun,
di balik pemandangan memesona itu, ancaman datang diam-diam. Dalam lima tahun
terakhir, ekspansi tambang nikel di
wilayah ini bertambah hingga 494 hektar. PT Gag Nikel dan PT Anugerah Surya
Pratama (ASP) menjadi dua dari sekian nama perusahaan yang mengantongi izin
operasi di wilayah yang semestinya dilindungi.
Menurut
United States Geological Survey (2023),
cadangan nikel Indonesia mencapai 21 juta ton. Bahkan data Badan Geologi
menyebutkan angka yang jauh lebih besar: 11,7
miliar ton. Angka itu menjadi bahan bakar industri, tapi juga menjadi
ancaman serius bagi masyarakat lokal yang menggantungkan hidup dari laut.
Apa Itu Marine Literacy?
Marine
literacy atau literasi kelautan bukan sekadar kemampuan memahami istilah teknis
soal laut. Ia adalah kesadaran kolektif tentang pentingnya laut dalam kehidupan
sehari-hari—dari udara yang kita hirup, makanan yang kita konsumsi, hingga
krisis iklim yang kita alami. Dan di tangan perempuan, marine literacy menjadi
alat perlawanan.
Mengapa Gerakan
Perempuan?
Dalam
banyak komunitas pesisir, perempuan memegang peran sentral dalam pengelolaan
sumber daya laut. Mereka yang mengolah hasil tangkapan, mendidik anak-anak
tentang musim ikan, dan paling terdampak saat hasil laut menurun. Namun, suara
perempuan sering kali dikesampingkan dalam proses pengambilan kebijakan,
terutama terkait izin tambang dan pengelolaan wilayah pesisir.
Padahal,
banyak bukti menunjukkan bahwa pelibatan perempuan dalam pengelolaan sumber
daya alam menghasilkan dampak yang lebih berkelanjutan. Gerakan perempuan yang
berbasis marine literacy tidak hanya
memperjuangkan lingkungan, tapi juga keadilan sosial dan ekonomi.
Realita di Raja Ampat
Dampak
dari tambang nikel sangat nyata. Sedimentasi
tinggi dari pembukaan lahan tambang mengalir ke laut, menutupi terumbu
karang, menghambat fotosintesis, dan merusak habitat ikan. Pencemaran logam berat masuk ke rantai makanan laut dan memengaruhi
kesehatan masyarakat. Menurut laporan Auriga
Nusantara (2024), hasil tangkapan ikan nelayan turun drastis, dan
masyarakat harus melaut lebih jauh demi hasil yang sama.
Seorang
nelayan perempuan dari Pulau Gag berkata, “Kami
perempuan bukan hanya juru masak hasil laut. Kami penjaga laut. Kami tahu kapan
ikan datang, dan kapan laut sedang sakit.” Pernyataan ini menjadi pengingat
bahwa literasi kelautan harus dimulai dari komunitas—dan harus dipimpin oleh
mereka yang hidup darinya.
Menuju Strategi: Dari
Pengetahuan ke Perlawanan
Gerakan
perempuan berbasis marine literacy memiliki tiga misi utama:
- Edukasi Komunitas
Memberikan pemahaman kepada masyarakat (terutama anak muda) soal pentingnya ekosistem laut, dampak tambang, dan hak mereka atas wilayah pesisir. - Partisipasi
dalam Kebijakan
Mendorong perempuan untuk terlibat dalam forum musyawarah desa, konsultasi publik izin tambang, dan menyuarakan dampak nyata dari kerusakan laut. - Digital Advocacy dan Pengawasan Warga
Menggunakan media sosial, kampanye daring, dan pelaporan partisipatif untuk memantau aktivitas tambang, mengadvokasi perubahan kebijakan, dan menggugah solidaritas publik.
Saatnya Bangkit
Raja
Ampat adalah rumah bagi laut, budaya, dan kehidupan. Jika kerusakan ini
dibiarkan, kita tidak hanya kehilangan terumbu karang—tapi juga kehilangan masa
depan masyarakat pesisir, terutama perempuan dan generasi yang lahir dari laut.
Marine
literacy adalah senjata pengetahuan. Di tangan perempuan, ia menjadi gerakan.
Dan gerakan itu harus terus hidup—dari kampung pesisir hingga ruang kebijakan,
dari laut hingga layar digital.
***
*) Oleh : Nurima Masri, Sekretaris Bidang Maritim KOPRI PB PMII 2024-2027.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi indonara.id