Cantik Menurut Algoritma: Tentang Kendali dan Kesadaran di Era AI

Kecantikan yang tidak disertai kesadaran akan mudah diperalat. Perempuan punya pilihan untuk tetap tampil sesuai selera mereka, tapi mari pastikan itu adalah pilihan sadar, bukan hasil dari intervensi algoritma yang tak kasat mata.

Selama hampir satu dekade terakhir, saya telah menulis dan berbicara tentang perempuan yang tidak harus cantik. Bukan karena saya anti kecantikan, tapi karena saya percaya bahwa perempuan tidak hanya sekedar tampilan visual. Namun kini, saya melihat sesuatu yang lebih halus dan tidak terlihat lalu diam-diam menyelinap ke ruang kesadaran kita: algoritma.

Di era AI, wajah perempuan bukan hanya wajah. Ia merupakan data yang diproses, diukur, dibandingkan , dan akhirnya ditentukan tingkat daya tariknya oleh machine learning. Dari filter Instagram hingga aplikasi pemindai wajah, perempuan perlahan-lahan dikurung dalam standar kecantikan yang dibentuk bukan oleh hati nurani manusia, tapi oleh rumus digital dan bias teknologi.

Ketika Kamera Menentukan Nilai Wajah

Dalam satu klik, kita bisa “memperbaiki” wajah: hidung lebih ramping, pipi lebih tirus, kulit lebih cerah. Aplikasi seperti TikTok, Meitu, hingga teknologi AI beauty cam secara otomatis mengubah wajah kita agar sesuai dengan tren global—yang sayangnya seringkali berkulit putih, bermata besar, dan tidak punya pori-pori.

Apakah itu benar-benar keinginan kita, atau keinginan algoritma yang mempelajari kita diam-diam?

Menurut penelitian dari MIT Media Lab, sistem pengenalan wajah berbasis AI memiliki bias yang signifikan terhadap ras dan gender—terutama perempuan berkulit gelap yang memiliki tingkat akurasi pengenalan terendah, hanya 65%, dibandingkan dengan laki-laki kulit putih yang mencapai 99%. Di dunia di mana wajah adalah paspor sosial, bias ini bukan hanya tekniis tapi sebuah sistem yang politis.

Tubuh Perempuan dan Kapitalisme Digital

Kecantikan kini bukan lagi tentang ekspresi diri, melainkan performa. Ia bisa dimonetisasi, dijadikan branding, dikomodifikasi. Influencer dengan wajah “sesuai algoritma” lebih mudah viral, mendapat sponsor, dan menjadi panutan. Di balik itu, banyak perempuan yang merasa tidak cukup. Tidak cukup kurus, tidak cukup glowing, tidak cukup estetik.

Yang lebih menyedihkan, banyak perempuan muda kini menilai nilai diri mereka dari jumlah likes, komentar pujian, atau seberapa sering mereka masuk explore. Seolah validasi hanya sah jika datang dari publik digital. Ini bukan sekadar tekanan sosial—ini tekanan struktural yang dilanggengkan teknologi.

Perlawanan: Dari Kesadaran menuju Kendali

Gerakan perempuan di era digital tidak cukup hanya bicara soal representasi. Kita harus bicara soal kekuasaan teknologi. Kita butuh literasi digital yang tidak hanya mengajarkan cara mengedit foto, tapi juga mengajarkan mengapa kita merasa harus mengedit foto itu sejak awal.

Kita harus bertanya:

      Mengapa algoritma menentukan siapa yang layak ditampilkan?

      Mengapa wajah perempuan harus selalu siap tampil bahkan di ruang pribadi digital?

      Dan yang paling penting: siapa yang diuntungkan ketika perempuan merasa dirinya belum cukup?

Jawabannya jelas: bukan perempuan.

Kecantikan Tak Harus Diseragamkan

Kecantikan yang tidak disertai kesadaran akan mudah diperalat. Perempuan punya pilihan untuk tetap tampil sesuai selera mereka, tapi mari pastikan itu adalah pilihan sadar, bukan hasil dari intervensi algoritma yang tak kasat mata.

Sebagai perempuan, kita berhak untuk terlihat. Tapi kita juga berhak untuk tak selalu ditatap. Kita berhak menentukan cara tampil, tapi juga berhak menolak dinilai semata dari wajah.

Karena dunia ini terlalu keras jika perempuan hanya mengandalkan kecantikan wajah. Tapi ia akan kuat—jika perempuan tampil dengan kecantikan hati, intelektualitas, dan kendali penuh atas dirinya sendiri.

***

*) Oleh : Athiyah, Ketua Bidang Media KOPRI PB PMII.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi indonara.id