Kasus Infeksi Menular Seksual Meningkat, Kemenkes Soroti Risiko pada Usia Remaja

Ilustrasi penyakit tidak menular.

Kasus infeksi menular seksual (IMS) di Indonesia mengalami peningkatan signifikan sepanjang 2024, terutama pada kelompok usia muda. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) mencatat lonjakan pada kasus sifilis, gonore, dan infeksi menular lainnya yang kini mulai banyak menyerang remaja usia 15–19 tahun.

Melansir dari detikhealth, data resmi Kemenkes menyebutkan sebanyak 23.347 kasus sifilis tercatat sepanjang tahun, dengan mayoritas merupakan sifilis dini sebanyak 19.904 kasus. Tak hanya itu, terdapat pula 77 kasus sifilis kongenital, yaitu penularan dari ibu kepada bayi. Selain itu, gonore atau yang awam dikenal sebagai ‘kencing nanah’ juga menunjukkan angka tinggi dengan 10.506 kasus, dominan di wilayah DKI Jakarta.

“IMS bukan hanya persoalan individu, tapi masalah kesehatan masyarakat. Kondisi ini membuka peluang penularan HIV yang sangat tinggi. Kelompok usia produktif 25–49 tahun masih mendominasi, namun tren di usia remaja kini mulai meningkat,” ungkap Direktur Penyakit Menular Kemenkes RI, dr Ina Agustina, dalam konferensi pers pada Jumat, 20 Juni 2025.

Lebih jauh, dr Ina mengingatkan bahwa infeksi Human Papillomavirus (HPV) juga termasuk dalam kategori IMS yang berpotensi memicu kanker serviks. Jika tidak terdeteksi dan ditangani sejak dini, infeksi ini menjadi ancaman serius khususnya bagi perempuan.

Senada dengan itu, pakar dari Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – RSCM, Dr dr Hanny Nilasari, SpDV(K), turut menekankan pentingnya edukasi reproduksi yang menyeluruh, terutama untuk usia muda.

“Banyak infeksi menular seksual dan infeksi saluran reproduksi yang berlangsung tanpa gejala, terutama pada perempuan. Hal ini menyebabkan keterlambatan penanganan, dan berisiko menimbulkan komplikasi serius,” jelas dr Hanny.

Ia juga menyebutkan bahwa tren peningkatan IMS terus berlanjut dari tahun ke tahun, dan usia penderita makin muda. Kasus kehamilan tidak diinginkan di kalangan remaja pun meningkat, mendorong lonjakan angka aborsi yang turut menjadi perhatian serius sektor kesehatan.

Gejala IMS dan Ancaman Kesehatan

Dalam kesempatan yang sama, dr Hanny memaparkan beberapa gejala IMS yang perlu diwaspadai masyarakat. Gejala dapat berupa luka atau lenting di area genital, cairan abnormal dari organ reproduksi, rasa gatal atau nyeri saat buang air kecil, hingga ruam di kulit dan pembengkakan kelenjar.

Sifilis, kata dr Hanny, disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum dan diawali luka di alat kelamin. Jika tidak ditangani, infeksi dapat menyebar ke organ vital seperti jantung, ginjal, mata, dan saraf.

Sementara itu, gonore yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae, ditandai keluarnya cairan menyerupai nanah dari kemaluan dan rasa nyeri saat berkemih. Pada perempuan, infeksi sering kali tanpa gejala, hingga menyebabkan komplikasi berat seperti radang panggul dan kemandulan.

Infeksi HPV menimbulkan kutil kelamin berupa tonjolan kasar sewarna kulit yang dapat tumbuh di sekitar kelamin, anus, atau rongga vagina. Herpes kelamin akibat virus herpes simplex juga menyebar lewat kontak seksual, dan bisa menimbulkan lenting atau luka di sekitar area genital dan mulut.

Tak kalah penting, HIV masih menjadi ancaman serius. Virus ini menyerang sistem imun tubuh secara perlahan hingga memasuki tahap AIDS. “Saat sistem kekebalan sangat lemah, tubuh tidak bisa lagi melawan infeksi, dan barulah muncul berbagai kelainan berat,” tutur dr Hanny.

Pentingnya Edukasi Seksual Sejak Dini

Melihat tren meningkatnya kasus di usia muda, para ahli menekankan urgensi edukasi reproduksi dan pencegahan IMS yang terstruktur dan menyeluruh, termasuk di lingkungan pendidikan.

“Jika tidak segera dilakukan intervensi, maka kita akan menghadapi generasi muda yang rentan terhadap penyakit menular seksual, infertilitas, dan bahkan kematian akibat komplikasi,” tutup dr Hanny.

Etika dan Penanggulangan

Kemenkes mengimbau masyarakat tidak melakukan stigmatisasi terhadap penderita IMS, melainkan memperkuat kesadaran bersama akan pentingnya pencegahan, pemeriksaan dini, dan pengobatan yang tepat. Edukasi, keterbukaan komunikasi, serta akses layanan kesehatan yang adil menjadi kunci dalam memutus mata rantai penularan IMS di Indonesia.

Penulis: Badrul Nurul Hisyam