Negara Abai, PRT Terluka: Janji RUU PPRT yang Gagal Menjadi Perlindungan

Banyak anggota DPR sebenarnya belum membaca detail naskah RUU, namun sudah khawatir RUU ini “mengkriminalisasi majikan” atau memicu tuntutan upah minimum bagi PRT, padahal kedua hal itu tidak ada dalam draf RUU. 
Pekerjaan rumah tangga sering dianggap “tidak memerlukan keahlian” sehingga PRT dianggap “pembantu” atau “asisten”, bukan sebagai pekerja profesional. Padahal, PRT melakukan beragam tugas penting; mengurus rumah tangga, anak, lansia, dan banyak pekerjaan perawatan (care work) lain yang memungkinkan produktivitas sektor publik dan swasta tetap berjalan lancar. Ironisnya, di Indonesia jutaan PRT justru terpinggirkan dalam sistem hukum ketenagakerjaan. Artikel ini menyoroti realitas PRT di Indonesia dan mendesak pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sebagai panggilan mendesak dalam semangat hari peringatan ini.

Kondisi Pekerja Rumah Tangga di Indonesia

Data Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) mencatat ada lebih dari 10,7 juta pekerja rumah tangga di Indonesia. Sebanyak 92 persen di antaranya perempuan, dan 22 persen masih anak-anak.

Pada 2021-2024, terdapat 3.308 kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga yang dilaporkan, didominasi kekerasan psikis, fisik, dan ekonomi. Upahnya tidak dibayar serta mengalami pemecatan sepihak hingga kekerasan seksual.

Hambatan Politik dan Sosial terhadap RUU PPRT

Mandeknya RUU PPRT bukan tanpa sebab. Salah satu faktor utama adalah politik dan kesalahpahaman tentang RUU ini. Banyak anggota DPR sebenarnya belum membaca detail naskah RUU, namun sudah khawatir RUU ini “mengkriminalisasi majikan” atau memicu tuntutan upah minimum bagi PRT, padahal kedua hal itu tidak ada dalam draf RUU. Ketakutan seperti itu menimbulkan pernyataan seperti “nanti majikan dikriminalisasi, kecil-kecil dikomplain”.

Pandangan keliru ini membuat RUU selalu tertunda. Beberapa politisi bahkan berargumen bahwa RUU PPRT akan menghilangkan “asas kekeluargaan dan gotong royong” dalam hubungan majikan-PRT. Padahal, kenyataannya hubungan tanpa aturan justru memberi majikan keleluasaan tak terbatas: “mereka menikmati privilese dan takut itu hilang. Mereka bisa menyuruh PRT kapan saja, melayani kapan saja,” ungkap pegiat Jala PRT. Artinya, RUU justru akan menyeimbangkan relasi dengan mewajibkan kontrak kerja, upah layak, dan jaminan sosial.

RUU juga diragukan karena sekadar mengurus “urusan orang dalam rumah”, sehingga kelompok rentan ini dipandang sepele. Padahal menurut Komnas, terdapat anggapan dalam kebijakan bahwa RUU PPRT belum mendesak karena jumlah PRT sedikit dan status sosial mereka dianggap tidak penting. Kesalahpahaman inilah yang menyebabkan perjuangan 20 tahun para PRT seolah mengulang dari awal setiap masa sidang DPR berganti. Human Rights Watch (yang meliput isu ini) menilai RUU terlambat karena “kekurangan kemauan politik yang konsisten” selama dua dekade.

Menagih Janji Prabowo

Presiden Prabowo Subianto menghadiri peringatan Hari Buruh Internasional di lapangan Monas, Jakarta, pada 1 Mei 2025. Ia berjanji akan segera membereskan RUU PPRT dalam tiga bulan. Namun, sampai sekarang RUU tersebut hilang dari radar bahkan nyaris tidak diperbincangkan.

RUU PPRT Terpinggirkan

RUU ini masih melewati banyak fase tanpa hasil. Jala PRT menuturkan bahwa meski RUU telah masuk inisiatif DPR, pergantian pemerintahan membuat proses diskusi “mulai dari nol lagi”. Sementara DPR seringkali lebih cepat meloloskan RUU lain (contohnya RUU IKN dalam hitungan jam).

Tanpa UU PPRT, mereka tetap bekerja di “ketidakpastian: tanpa upah layak, tanpa jaminan kesehatan, tanpa jaminan hari libur, tanpa perlindungan dari kekerasan”.

Hak PRT dalam Kerangka Internasional

Secara internasional, PRT diakui sebagai bagian penting angkatan kerja. ILO Convention No. 189 (2011) secara eksplisit menegaskan bahwa PRT adalah pekerja yang berhak atas perlindungan kerja layak. Konvensi ini menyebut PRT berhak atas upah layak dan jam kerja wajar, cuti tahunan dan cuti sakit berbayar, jaminan sosial (kesehatan, pensiun, kecelakaan kerja), serta hak atas tempat kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan, termasuk kekerasan berbasis gender.

ILO dan lembaga internasional lain mendorong negara-negara meratifikasi Konvensi 189. Komnas Perempuan menyebut ratifikasi ILO 189 sebagai keharusan selaras prinsip Pancasila tentang keadilan sosial dan amanat UUD 1945 (Pasal 28D ayat 2: “setiap orang berhak mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”). Hingga 2025, Indonesia belum meratifikasi ILO 189. Padahal berbagai seruan menyatakan hal itu perlu segera dilakukan. Bahkan pemerintah setempat telah mengeluarkan Peraturan Menaker No.2/2015 soal PRT, namun Komnas menilai regulasi itu masih belum memberi perlindungan memadai.

Catatan Kritis

1. Mandeknya Legislasi RUU PPRT Akibat Ketidakseriusan Politik:

Selama lebih dari dua dekade, RUU PPRT terus tertunda akibat minimnya kemauan politik di DPR dan eksekutif. Legislasi yang lebih menguntungkan elite atau sektor ekonomi disahkan jauh lebih cepat, sementara perlindungan untuk PRT yang menyangkut keadilan sosial justru diabaikan.

2. Ketiadaan Payung Hukum Menjadikan PRT Tak Terlihat:

Tidak adanya UU lex specialis membuat PRT terpinggirkan dari sistem ketenagakerjaan formal. Kekerasan, kerja paksa, dan upah tidak layak sulit diproses hukum karena kekosongan regulasi substantif.

3. Budaya Patriarki dan Kelas Memperkuat Eksploitasi:

PRT, yang mayoritas perempuan dan berasal dari kelas bawah, terus distigma sebagai "pembantu" alih-alih pekerja. Budaya ini membentuk relasi kuasa yang timpang, melanggengkan dominasi majikan, dan mematikan keberdayaan PRT.

4. Masyarakat Umum Abai, Media Minim Framing Keadilan:

Isu PRT tidak menjadi perhatian publik karena kurangnya literasi hak asasi dalam ruang domestik. Media pun sering gagal memosisikan PRT sebagai subjek perjuangan hak, hanya mengekspos kasus ekstrem tanpa narasi struktural yang memadai.

5. Elite Politik dan Lembaga Negara Lemah dalam Advokasi Pro-Rakyat Kecil:

Ketidaktegasan DPR, lemahnya penegakan hukum, dan sikap permisif dari institusi negara mencerminkan deviasi dari amanat konstitusi: keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Negara justru menjadi bagian dari sistem yang menormalisasi eksploitasi.

***

*) Oleh : Ilma Sripa,

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi indonara.id