Revisi KUHAP Disorot! Ini 10 Rekomendasi Keras Komnas HAM ke Pemerintah

Ilustrasi Pengadilan
Jakarta, Indonara - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memaparkan sepuluh poin rekomendasi penting terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Rekomendasi ini diharapkan menjadi perhatian serius dalam proses revisi yang tengah berlangsung.

Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, menyoroti bahwa rekomendasi pertama berfokus pada penguatan pengawasan terhadap penyidik. Ia menegaskan bahwa mandat besar aparat dalam proses penyelidikan dan penyidikan, termasuk penggunaan upaya paksa, harus diimbangi dengan peningkatan kualitas serta pengawasan yang ketat.

“Hal ini untuk meminimalisasi terjadinya penyalahgunaan wewenang dan potensi pelanggaran hak asasi manusia, khususnya terhadap saksi, tersangka dan/atau korban. Selain itu, harus ada pembatasan waktu dalam proses penyidikan dan penyelidikan,” kata Atnike dalam keterangan yang dilansir Antara, Minggu (23/6/2025).

Rekomendasi kedua menekankan agar kewenangan upaya paksa dijalankan secara ketat, dengan indikator yang jelas dan terukur. Komnas HAM juga mendorong adanya mekanisme pengajuan keberatan bagi pihak yang merasa hak-haknya dirugikan.

“Baik terhadap institusi yang menggunakan upaya paksa tersebut maupun melalui lembaga peradilan,” tambah Atnike.

Selanjutnya, rekomendasi ketiga menyarankan agar mekanisme praperadilan dirumuskan ulang agar benar-benar merepresentasikan kepentingan tersangka, korban, dan masyarakat dalam memperoleh keadilan. Komnas HAM berpandangan bahwa praperadilan tak sekadar menguji aspek formal dalam proses hukum, tetapi juga menyangkut materiil penyelidikan dan penyidikan.

“Serta masa sidang praperadilan harus dilakukan dalam 14 hari kerja dan perkara pokok belum bisa dilimpahkan sebelum praperadilan diputuskan,” katanya pula.

Rekomendasi keempat mengatur bahwa penerapan keadilan restoratif harus memperoleh persetujuan korban dan ditetapkan oleh pengadilan. Penyidik yang menangani perkara tidak boleh menjadi mediator dalam proses ini. Menurut Komnas HAM, hal ini untuk mencegah kemungkinan terjadinya transaksi antara korban dan pelaku, terutama pada korban dari kelompok rentan secara ekonomi, sosial, atau hukum.

Pada rekomendasi kelima, Komnas HAM meminta Pemerintah dan DPR agar hak-hak semua pihak—baik tersangka, terdakwa, saksi, ahli, maupun korban—dalam RUU KUHAP diselaraskan dengan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.

“Keenam, perhatian juga harus diberikan kepada kelompok masyarakat adat. Dalam pengaturan KUHAP, harus memperhatikan hukum yang berlaku di dalam masyarakat atau living law,” imbuh Atnike.

Dalam rekomendasi ketujuh, Komnas HAM menekankan pentingnya bantuan hukum untuk tersangka dan terdakwa yang terancam hukuman di bawah lima tahun. Sedangkan untuk korban, bantuan hukum harus diberikan sejak tahap penyelidikan sebagai bagian awal dari proses peradilan pidana.

Rekomendasi kedelapan menyentil soal waktu banding yang terlalu singkat. Komnas HAM meminta agar Pemerintah dan DPR memberikan waktu yang memadai bagi terdakwa atau kuasa hukumnya dalam mempersiapkan permohonan dan memori banding secara menyeluruh.

Sementara itu, pada poin kesembilan, Komnas HAM mendorong agar RUU KUHAP memuat mekanisme pengujian admisibilitas atau kelayakan alat bukti. Tujuannya adalah memastikan alat bukti diperoleh melalui cara-cara yang sah dan tidak melanggar norma hukum maupun etika.

“Sepuluh, ketentuan mengenai koneksitas, RUU HAP (KUHAP, red.) sebaiknya memperjelas kriteria ‘titik berat kerugian’ dalam menentukan suatu perkara,” kata Atnike.

Seluruh rekomendasi ini telah diserahkan secara resmi kepada Pemerintah melalui Kementerian Hukum pada Jumat (20/6/2025). Atnike bersama Ketua Tim Kajian RUU KUHAP, Abdul Haris Semendawai, diterima langsung oleh Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej di Kantor Kementerian Hukum, Jakarta Selatan.

“Komnas HAM berharap rekomendasi ini dapat menjadi bahan pembahasan dan pertimbangan oleh Kementerian Hukum bersama DPR. Hasil kajian ini juga akan segera diserahkan kepada Komisi III DPR RI yang memiliki tanggung jawab dalam pembahasan RUU KUHAP,” demikian Atnike.