![]() |
| Ilustrasi Pengadilan |
Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM, Atnike Nova
Sigiro, menyoroti bahwa rekomendasi pertama berfokus pada penguatan pengawasan
terhadap penyidik. Ia menegaskan bahwa mandat besar aparat dalam proses
penyelidikan dan penyidikan, termasuk penggunaan upaya paksa, harus diimbangi
dengan peningkatan kualitas serta pengawasan yang ketat.
“Hal ini untuk meminimalisasi terjadinya penyalahgunaan
wewenang dan potensi pelanggaran hak asasi manusia, khususnya terhadap saksi,
tersangka dan/atau korban. Selain itu, harus ada pembatasan waktu dalam proses
penyidikan dan penyelidikan,” kata Atnike dalam keterangan yang dilansir
Antara, Minggu (23/6/2025).
Rekomendasi kedua menekankan agar kewenangan upaya paksa
dijalankan secara ketat, dengan indikator yang jelas dan terukur. Komnas HAM
juga mendorong adanya mekanisme pengajuan keberatan bagi pihak yang merasa
hak-haknya dirugikan.
“Baik terhadap institusi yang menggunakan upaya paksa
tersebut maupun melalui lembaga peradilan,” tambah Atnike.
Selanjutnya, rekomendasi ketiga menyarankan agar mekanisme
praperadilan dirumuskan ulang agar benar-benar merepresentasikan kepentingan
tersangka, korban, dan masyarakat dalam memperoleh keadilan. Komnas HAM
berpandangan bahwa praperadilan tak sekadar menguji aspek formal dalam proses
hukum, tetapi juga menyangkut materiil penyelidikan dan penyidikan.
“Serta masa sidang praperadilan harus dilakukan dalam 14
hari kerja dan perkara pokok belum bisa dilimpahkan sebelum praperadilan
diputuskan,” katanya pula.
Rekomendasi keempat mengatur bahwa penerapan keadilan
restoratif harus memperoleh persetujuan korban dan ditetapkan oleh pengadilan.
Penyidik yang menangani perkara tidak boleh menjadi mediator dalam proses ini.
Menurut Komnas HAM, hal ini untuk mencegah kemungkinan terjadinya transaksi
antara korban dan pelaku, terutama pada korban dari kelompok rentan secara
ekonomi, sosial, atau hukum.
Pada rekomendasi kelima, Komnas HAM meminta Pemerintah dan
DPR agar hak-hak semua pihak—baik tersangka, terdakwa, saksi, ahli, maupun
korban—dalam RUU KUHAP diselaraskan dengan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan
Korban.
“Keenam, perhatian juga harus diberikan kepada kelompok
masyarakat adat. Dalam pengaturan KUHAP, harus memperhatikan hukum yang berlaku
di dalam masyarakat atau living law,” imbuh Atnike.
Dalam rekomendasi ketujuh, Komnas HAM menekankan pentingnya
bantuan hukum untuk tersangka dan terdakwa yang terancam hukuman di bawah lima
tahun. Sedangkan untuk korban, bantuan hukum harus diberikan sejak tahap
penyelidikan sebagai bagian awal dari proses peradilan pidana.
Rekomendasi kedelapan menyentil soal waktu banding yang
terlalu singkat. Komnas HAM meminta agar Pemerintah dan DPR memberikan waktu
yang memadai bagi terdakwa atau kuasa hukumnya dalam mempersiapkan permohonan
dan memori banding secara menyeluruh.
Sementara itu, pada poin kesembilan, Komnas HAM mendorong
agar RUU KUHAP memuat mekanisme pengujian admisibilitas atau kelayakan alat
bukti. Tujuannya adalah memastikan alat bukti diperoleh melalui cara-cara yang
sah dan tidak melanggar norma hukum maupun etika.
“Sepuluh, ketentuan mengenai koneksitas, RUU HAP (KUHAP,
red.) sebaiknya memperjelas kriteria ‘titik berat kerugian’ dalam menentukan
suatu perkara,” kata Atnike.
Seluruh rekomendasi ini telah diserahkan secara resmi
kepada Pemerintah melalui Kementerian Hukum pada Jumat (20/6/2025). Atnike
bersama Ketua Tim Kajian RUU KUHAP, Abdul Haris Semendawai, diterima langsung
oleh Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej di Kantor Kementerian
Hukum, Jakarta Selatan.
“Komnas HAM berharap rekomendasi ini dapat menjadi bahan
pembahasan dan pertimbangan oleh Kementerian Hukum bersama DPR. Hasil kajian
ini juga akan segera diserahkan kepada Komisi III DPR RI yang memiliki tanggung
jawab dalam pembahasan RUU KUHAP,” demikian Atnike.
