![]() |
Alih-alih menjadi pencegah, stigma yang melekat justru menyebabkan diskriminasi sosial, tekanan psikologis, dan terbatasnya akses pendidikan atau pekerjaan. |
Pernikahan dini masih menjadi
persoalan sosial di Probolinggo, khususnya di kalangan masyarakat
berpenghasilan rendah. Data dari Pengadilan Agama mencatat, hingga Juni 2024,
terdapat 29 permohonan dispensasi kawin anak, dan 28 di antaranya dikabulkan.
Angka ini naik signifikan dibanding tahun 2023 yang hanya mencatat 14 kasus.
Faktor pendorong pernikahan dini meliputi kemiskinan, rendahnya pendidikan,
tekanan budaya, hingga keegoisan orangtua yang menikahkan anak demi menjaga
citra keluarga atau mengurangi beban ekonomi, tanpa mempertimbangkan kesiapan
anak secara fisik dan mental.
Sayangnya, masyarakat sering
memberikan stigma negatif kepada pasangan muda, seperti anggapan bahwa mereka
tidak mampu menjadi orang tua yang baik atau telah gagal secara moral. Hal ini
berdampak pada kondisi psikologis dan sosial pelaku, mulai dari rendahnya
kepercayaan diri hingga pengucilan sosial. Stigma ini dapat dijelaskan melalui
teori Erving Goffman, yang menyebut stigma sebagai label negatif yang
merendahkan individu. Dalam kasus ini, pasangan muda distigmatisasi karena
dianggap menyimpang dari norma masyarakat. Jika tidak ditangani dengan
pendekatan yang bijak dan edukatif, stigma ini justru memperparah keadaan
mereka.
Fenomena ini tidak lepas dari
berbagai faktor lokal. Secara budaya, sebagian masyarakat di Probolinggo
terutama dari komunitas Madura yang banyak bermukim di wilayah Kraksaan dan
sekitarnya masih memegang nilai tradisional yang mendukung pernikahan usia muda.
Kekhawatiran terhadap pergaulan bebas dan keinginan menjaga kehormatan keluarga
menjadi alasan umum, yang sering kali mendorong orangtua mengambil keputusan
sepihak. Tingkat pendidikan yang rendah juga memperbesar kemungkinan anak
perempuan untuk putus sekolah dan akhirnya dinikahkan. Tekanan ekonomi menjadi
faktor kuat, namun kadang dimanfaatkan secara egois oleh sebagian orangtua
sebagai jalan pintas mengurangi tanggungan keluarga atau berharap mendapat
dukungan dari pihak pasangan.
Pandangan tokoh masyarakat dan
adat terhadap pernikahan dini di Probolinggo cukup beragam. Beberapa tokoh
agama masih mendukung praktik ini dengan alasan moral dan tradisi. Namun
demikian, semakin banyak tokoh yang mulai menyadari dampak negatif dari pernikahan
dini terhadap kesehatan, pendidikan, dan masa depan anak. Pemerintah daerah
melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3AP2KB), serta
lembaga keagamaan seperti MUI, telah melakukan berbagai upaya edukatif termasuk
menyasar orangtua agar tidak terburu-buru menikahkan anak. Edukasi ini mencakup
kampanye tentang hak anak, kesehatan reproduksi, dan dampak pernikahan dini
terhadap stunting dan kemiskinan antargenerasi.
Teori strukturasi Anthony
Giddens menjelaskan bahwa struktur sosial seperti budaya, norma, dan ekonomi
memengaruhi tindakan individu, namun individu (termasuk orangtua) juga memiliki
peran dalam mengubah struktur tersebut. Maka, pernikahan dini tidak semata
keputusan anak, melainkan hasil dari tekanan sosial yang direproduksi oleh
orangtua, masyarakat, dan sistem.
Remaja yang menikah muda di
Probolinggo, khususnya perempuan, kerap menghadapi stigma negatif. Mereka
dianggap tidak bertanggung jawab, kurang pendidikan, atau menjadi aib keluarga.
Stigma ini muncul dari tetangga, sekolah, dan tempat kerja. Di sekolah, mereka
bisa dikucilkan; di tempat kerja, sering dipandang kurang profesional karena
status mereka sebagai istri atau ibu di usia muda.
Tingkat stigma juga bervariasi
antara kota dan desa. Di wilayah perkotaan, pernikahan dini lebih dianggap
menyimpang dari norma pendidikan dan karier. Sementara di pedesaan, meski lebih
diterima secara budaya, tetap ada penilaian negatif jika pernikahan dilakukan
karena kehamilan di luar nikah atau alasan ekonomi. Dalam dua konteks ini,
stigma tetap memengaruhi kesejahteraan sosial dan psikologis pelaku.
Alih-alih menjadi pencegah,
stigma yang melekat justru menyebabkan diskriminasi sosial, tekanan psikologis,
dan terbatasnya akses pendidikan atau pekerjaan. Ini memperbesar risiko
terulangnya pernikahan dini dalam generasi berikutnya. Ketimpangan perlakuan
juga tampak jelas perempuan lebih sering disalahkan dibanding laki-laki. Hal
ini memperkuat norma patriarkal yang memperlemah posisi perempuan dalam
pengambilan keputusan hidupnya.
Untuk mengatasi hal ini,
institusi pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan lembaga agama memiliki
peran penting. Mereka mendorong edukasi kesehatan reproduksi, advokasi hak
anak, dan program pemberdayaan perempuan. Di sisi lain, diperlukan pendekatan khusus
untuk menyadarkan orangtua agar mereka tidak bertindak egois atau terburu-buru
menikahkan anak melalui pendidikan keluarga, forum warga, dan pelatihan
pengasuhan remaja yang relevan dengan kondisi lokal.
Untuk mengatasi hal ini,
pemerintah daerah melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak,
Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) menjalankan program
edukasi keluarga berbasis komunitas. Program ini menargetkan orangtua dan wali
murid, terutama di wilayah dengan angka pernikahan dini tinggi. Edukasi
dilakukan melalui penyuluhan rutin, pelatihan pengasuhan remaja, dan diskusi
terbuka mengenai hak anak, kesehatan reproduksi, serta risiko pernikahan usia
dini. Selain itu, pendekatan berbasis nilai lokal dan agama juga digunakan,
dengan melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat agar pesan-pesan edukatif
lebih diterima. Pemerintah juga mendorong sekolah dan Puskesmas menyediakan
layanan konseling keluarga, untuk menjembatani komunikasi antara orangtua dan
anak dalam pengambilan keputusan yang lebih bijak.
Penulis juga menekankan
pentingnya strategi pemberdayaan, seperti pelatihan keterampilan, pembentukan
forum remaja, serta beasiswa pendidikan. Tujuannya adalah meningkatkan
kapasitas dan kepercayaan diri remaja agar dapat mandiri dan menunda
pernikahan. Pendekatan yang digunakan kini berubah dari “menghakimi” menjadi
“memberdayakan.” Dengan dukungan lingkungan yang edukatif dan empatik, stigma
bisa dikurangi, dan remaja diberi ruang untuk tumbuh dan meraih masa depan yang
lebih baik.
Stigma masyarakat di
Probolinggo terhadap pernikahan dini mencerminkan konflik antara norma sosial
yang ideal dengan kenyataan ekonomi dan budaya yang kompleks. Stigma yang tidak
disertai pemahaman justru memperburuk kondisi sosial dan psikologis pelaku,
terutama remaja perempuan. Dalam banyak kasus, keputusan menikah muda juga
dipengaruhi oleh keegoisan orangtua yang mementingkan kehormatan atau ekonomi
keluarga tanpa mempertimbangkan kepentingan anak.
Pemerintah perlu meningkatkan
edukasi yang relevan bagi orangtua dan masyarakat, agar keputusan pernikahan
anak tidak didasari tekanan atau kepentingan pribadi. Penanganan pernikahan
dini di Probolinggo perlu berbasis lokal, dengan pendekatan yang edukatif,
partisipatif, dan humanis. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan
lembaga pendidikan sangat penting untuk mencegah pernikahan dini dan
mendampingi mereka yang sudah terlanjur menikah, agar tetap memiliki masa depan
yang sehat, mandiri, dan bermartabat.
***
*) Oleh : Siti Latifa Syahda,
Ketua Komisariat PMII Djoyolelono IAD Probolinggo.
*) Tulisan Opini ini
sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab
redaksi indonara.id
*) Indonara sangat terbuka
untuk umum yang ingin membagikan tulisannya di website ini. Panjang naskah
maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat
beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat
e-mail: redaksi.indonara@gmail.com
*) Redaksi berhak tidak
menayangkan opini yang dikirim.