Universitas Wiraraja Gaungkan Ketahanan Nasional Lewat Puisi dan Kuliah Umum SDA

Foto bersama pasca Kuliah Umum di Universitas Wiraraja Sumenep

Sumenep, Indonara -
Suasana Aula Graha Sumekar, Universitas Wiraraja, pagi itu begitu khidmat. Acara kuliah umum bertema “Ketahanan Nasional melalui Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan” resmi dibuka pada Senin, 16 Juni 2025, dengan pertunjukan seni yang sarat makna.

Budayawan Madura KH. D. Zawawi Imron membuka kegiatan dengan membacakan tiga puisi bertema kebangsaan dan cinta tanah air. Salah satu puisi yang paling menggugah berjudul "Madura, Akulah Darahmu."

“Aku tak akan pernah lelah menyebut namamu, Madura, bahkan bila harus dengan airmata,” ucap Zawawi, lantang namun syahdu. Suasana ruangan seketika menjadi hening. Para peserta larut dalam untaian kata-kata yang dibacakan dengan suara khas penuh getaran spiritual dan patriotik.

Rektor Universitas Wiraraja, Dr. Sjaifurrahchman, SH, CN, M.H., dalam sambutan pembuka menegaskan bahwa kerusakan sumber daya alam merupakan ancaman serius bagi ketahanan nasional.

“Perguruan tinggi harus mengambil bagian sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Di sinilah lahir riset, inovasi, dan sumber daya manusia yang bisa memberi solusi atas masalah bangsa,” katanya.

Ia mengajak mahasiswa untuk tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga aktif menjaga kelestarian bumi. “Saya berharap kuliah umum ini membuka wawasan. Membentuk kesadaran. Dan mendorong aksi nyata dari generasi muda untuk mendukung ketahanan nasional,” pungkasnya.

Kuliah umum kemudian dilanjutkan oleh Tenaga Ahli Pengkaji Bidang Sumber Kekayaan Alam di Lemhannas RI, Mayjen TNI Dr. Farid Makruf, MA. Ia mengawali dengan pernyataan tajam: “Indonesia ini ibarat rumah besar. Tapi rumah ini sedang bocor atapnya. Kita sibuk gali emas di lantai, tapi lupa menambal atap. Hutan habis. Air rusak. Tanah longsor. Dan rakyat kecil kehilangan haknya.”

Ucapannya membuat ruangan kembali senyap. Dengan sorot mata tajam dan data yang ditampilkan di layar, ia mengungkap dampak deforestasi, konflik agraria, dan ketimpangan ekonomi. “213 konflik agraria di 2023, dan 74% melibatkan masyarakat adat. Ini bukan sekadar statistik. Ini nyawa. Ini tanah leluhur yang dirampas,” katanya.

Farid juga menyoroti lemahnya hilirisasi dan dominasi ekspor bahan mentah. “62 persen devisa kita dari SDA. Tapi kita hanya menjual bahan mentah. Tak memberi nilai tambah. Tak menciptakan kesejahteraan jangka panjang,” lanjutnya.

Ia mengungkap bahwa hanya sebagian kecil pendapatan dari sektor SDA kembali kepada masyarakat lokal. “Coba pikir. Tambangnya ada di desa mereka. Udara penuh debu. Jalan hancur. Tapi listrik pun kadang tak menyala di rumah-rumah mereka,” ucap Farid.

Sebagai solusi, Farid menawarkan langkah-langkah seperti penyatuan data spasial SDA, hilirisasi industri, insentif ekonomi hijau, pengaturan harga karbon, serta penguatan peran pendidikan dalam membentuk SDM sadar lingkungan. Ia menutup kuliahnya dengan pesan mendalam: “Jaga alam, maka bangsa ini akan tetap tegak. Rusak alam, maka cepat atau lambat, kita semua akan runtuh bersama-sama.”

Kuliah umum ini menjadi ruang pertemuan antara seni dan pengetahuan, antara puisi yang menyentuh relung hati dan paparan data yang menggugah kesadaran. “Semoga materi dari Mayjen Farid Makruf hari ini bisa memberi manfaat bagi kita semua. Bukan hanya sebagai pengetahuan. Tapi juga sebagai pemicu gerakan,” tutup Rektor Sjaifurrahchman.