Alarm Kekerasan Anak Dibunyikan! Menteri PPPA Soroti Pola Asuh dan Bahaya Gadget

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Republik Indonesia, Arifah Fauzi (tengah) bersama Menko PMK dan Rektor Universitas Negeri Malang (UM) saat menanggapi pertanyaan awak media terkait dengan pelaksanaan Liga Putri yang sampai saat ini belum bergulir, Selasa (15/7/2025). 
Malang, Indonara — Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Choiri Fauzi, menyoroti pola asuh dalam keluarga sebagai penyebab utama meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia. Pernyataan tersebut disampaikan saat dirinya menjadi pembicara dalam peringatan Hari Anak Nasional 2025 yang digelar di Universitas Negeri Malang (UM), Selasa (15/7/2025).

Dalam paparannya, Arifah mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil investigasi langsung Kementerian PPPA, banyak kasus kekerasan berasal dari lingkungan keluarga sendiri. Ia menyoroti betapa anak-anak rentan menjadi korban kekerasan seksual dari orang terdekat, termasuk orang tua kandung.

“Salah satu kasus yang kami dalami, seorang anak usia 2 tahun 3 bulan mengalami kekerasan seksual. Bayangkan, bicara saja belum bisa, tapi sudah mengalami kekerasan seksual yang cukup parah. Dan pelakunya adalah ayah kandungnya sendiri. Ini sungguh sebuah keprihatinan yang luar biasa,” ungkap Arifah.

Ia juga menuturkan kasus lain yang tak kalah menyedihkan, ketika seorang anak perempuan yang masih duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar harus melahirkan di usia 13 tahun. Lagi-lagi, pelaku kekerasan adalah ayah kandung korban.

Menurut Arifah, persoalan tersebut berakar dari pola asuh yang keliru dalam keluarga. Ia membandingkan pola pengasuhan masa kini dengan pola asuh di masa lalu, yang menurutnya lebih tegas dan memperhatikan perkembangan anak secara utuh.

“Analisa kami bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak, salah satu penyebabnya yang pertama adalah pola asuh dalam keluarga. Yang sekarang sudah sangat jauh bergeser dibandingkan dengan pola asuh di masa lalu, ketika orang tua mendidik dengan ketegasan dan perhatian yang lebih,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa banyak orang tua masa kini terlalu memanjakan anak, menuruti semua keinginan mereka, dan enggan menetapkan batasan yang sehat. Pola asuh permisif seperti ini, kata Arifah, membuka celah bagi terjadinya kekerasan dan penyimpangan perilaku.

Tak hanya pola asuh, Arifah juga menyebutkan dua faktor lain yang turut menyumbang pada meningkatnya kekerasan terhadap anak, yaitu pengaruh negatif dari gadget serta lingkungan sosial yang kurang peduli.

“Kekerasan yang paling besar sekarang bersumber dari gadget, dari media sosial. Oleh karena itu, kepada anak-anakku yang hadir di sini, pergunakanlah internet dengan bijak,” pesannya.

Sebagai upaya sistemik untuk menanggulangi persoalan ini, Kementerian PPPA meluncurkan program Ruang Bersama Indonesia. Program ini merupakan kelanjutan dari inisiatif sebelumnya, yakni Desa dan Kelurahan Ramah Anak dan Perempuan. Arifah menekankan bahwa program ini mengedepankan kolaborasi antara kementerian, lembaga, dan peran aktif masyarakat untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan dan anak.

“Empati dan solidaritas di antara masyarakat kita sekarang mulai menjauh. Maka dari itu, perlu kita bangun kembali nilai-nilai kebersamaan melalui program ini,” tutup Arifah.

Melalui peringatan Hari Anak Nasional ini, Arifah berharap kesadaran masyarakat terhadap pentingnya peran keluarga dan lingkungan dalam perlindungan anak semakin meningkat, sekaligus menjadi momentum memperkuat kolaborasi lintas sektor untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia.