Menanggapi kondisi tersebut, DPRD Jawa Timur kini tengah menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Perlindungan Perempuan dan Anak yang dinilai lebih relevan dengan dinamika kejahatan di ruang digital. Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim, Hikmah Bafaqih, menyampaikan bahwa proses penyusunan Raperda masih berada dalam tahap pengkajian pasal demi pasal.
“Kami mulai membedah mendiskusikan pasal demi pasal Perda Perlindungan Perempuan dan Anak. Sepanjang pembahasan ini kami juga mengundang expert untuk mendapat masukan,” ujarnya sebagaimana dikutip oleh suarasurabaya.net Rabu (2/7/2025).
Dalam penyusunan naskah akademik Raperda ini, Komisi E telah berdiskusi dengan berbagai organisasi pemerhati perempuan dan anak dari berbagai kalangan. Raperda ini akan memfokuskan diri pada upaya pencegahan jenis-jenis kejahatan baru, terutama yang berkaitan dengan ruang digital.
“Terutama pencegahan di area digital. Ini belum diatur karena waktu itu belum cukup marak terjadi. Dan saat ini kejahatan yang melibatkan area digital sangat luar biasa, maka kami akan mengatur secara spesifik,” tuturnya.
Hikmah juga menyinggung data dari studi *Disrupting Harm* tahun 2022 yang menunjukkan bahwa 93,3 persen anak muda usia 16–24 tahun di Indonesia memiliki ponsel pintar, dan 90,7 persen di antaranya aktif menggunakan media sosial. Fakta ini menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja sangat rentan terhadap ancaman kejahatan digital.
Studi tersebut bahkan mengungkap bahwa 41 persen anak dan remaja menyembunyikan usia asli mereka saat online, yang membuat mereka lebih rentan menjadi target predator digital dan eksploitasi seksual.
“Pengalaman saya jadi pendamping perempuan dan anak korban kekerasan seksual, itu predator seksual biasanya mendalami lewat tracking media sosial mereka (korban) dari situ kemudian dilakukan pendekatan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Hikmah juga mengutip temuan dari Survei U-Report tahun 2019 yang melibatkan 2.777 responden berusia 14–24 tahun. Survei tersebut mengungkap bahwa 45 persen anak muda mengalami cyberbullying, dengan rincian 49 persen laki-laki dan 41 persen perempuan. Tiga dari sepuluh anak juga dilaporkan mengalami eksploitasi atau pelecehan seksual secara online selama masa pandemi.
“Karena literasi media sosial kita harus diakui lemah, hingga kemudian anak-anak itu dalam tanda kutip tampil telanjang di media sosial sehingga berpotensi menjadi korban,” tambahnya.
Sementara itu, data dari SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat fluktuasi angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jawa Timur. Pada 2023 tercatat 972 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 1.531 kasus kekerasan terhadap anak. Angka itu menurun pada 2024 menjadi 771 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 1.103 kasus kekerasan terhadap anak.
Hikmah berharap Raperda ini bisa segera diselesaikan agar mampu memperkuat langkah-langkah pencegahan sekaligus memberikan payung hukum yang jelas terhadap kejahatan digital.
“Raperda Perlindungan Perempuan dan Anak ini akan mengatur menjadi lebih spesifik yang tidak perlu tumpang tindih dengan UU yang normanya sudah kuat,” pungkasnya.