![]() |
Direktur Pertanian dan Energi BEM PTNU Se-Nusantara, M. Nadhim Ardiansyah. [Dok. Indonara] |
Jakarta, Indonara - Direktur Pertanian dan Energi Badan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (BEM PTNU) se-Nusantara, M. Nadhim Ardiansyah, menegaskan pentingnya menempatkan isu ketahanan pangan sebagai prioritas politik utama. Ia menilai, persoalan pangan tidak bisa hanya dianggap sebagai isu teknokratis atau urusan sektor ekonomi semata.
“Ketahanan pangan bukan sekadar agenda ekonomi atau jargon teknokratis dalam pembangunan. Dalam kajian kami, ia adalah alat kedaulatan, kekuatan nasional, dan sumber legitimasi kekuasaan,” katanya.
Menurutnya, negara yang gagal mengelola sistem pangan akan terjebak
dalam ketergantungan dan berisiko melemah dalam percaturan global. Selain itu,
ia menilai kegagalan itu juga bisa memicu gejolak sosial di dalam negeri.
“Apakah kita akan menyerahkan semua ini kepada pendekatan birokratis
semata? Apakah cukup dengan Satgas Pangan berbasis semi-militer yang top-down?
Tidak. Dalam sistem politik yang sehat, pengawasan dan keterlibatan
masyarakat sipil adalah keniscayaan,” tegasnya.
Lebih jauh, Nadhim menyoroti peran strategis mahasiswa dalam mengawal
isu pangan, termasuk mendorong distribusi hasil tani yang adil, memberdayakan
petani dari hulu ke hilir, hingga memastikan transparansi kebijakan pemerintah.
“Langkah strategis BEM PTNU menjadi contoh nyata bagaimana mahasiswa
dapat mengartikulasikan perannya secara konstruktif, cerdas, dan solutif. Kemudian, mahasiswa bukan sekadar peserta seminar atau pemrotes di jalan;
mereka kini menjadi pelaku transformasi sosial yang bekerja nyata di lapangan,” jelasnya.
Ia juga menyinggung sejumlah persoalan struktural dalam sektor pangan
nasional seperti ketimpangan akses, dominasi tengkulak, hingga potensi
permainan mafia pangan. Kendati pemerintah telah merancang sistem distribusi
berbasis koperasi seperti Koperasi Merah Putih, Nadhim menilai langkah tersebut
belum cukup tanpa partisipasi aktif masyarakat dan mahasiswa.
“Sistem secanggih apapun tak akan efektif tanpa pendampingan, edukasi,
dan kontrol sosial yang kuat. Mahasiswa, dengan kapasitas intelektual dan
jaringan sosial yang luas, adalah agen ideal untuk menjembatani jurang antara
kebijakan dan realitas,” ujarnya.
Dalam pandangannya, mahasiswa memiliki posisi strategis untuk menjadi
kekuatan moral dan penjaga integritas di tengah meningkatnya potensi korupsi
dalam sektor pangan. Ia menyebut peran mahasiswa kini telah memasuki fase baru:
menjadi mitra kritis negara.
“Sebagai akademisi saya menegaskan: inilah bentuk baru dari gerakan
mahasiswa. Bukan sekadar penekan dari luar sistem, tetapi juga mitra kritis
yang bekerja di dalam realitas sosial-politik. Ini adalah wajah politik
transformatif yang lebih matang (politik yang tidak hanya berbicara, tetapi
bertindak, red)” katanya.
Ia pun mengajak seluruh organisasi mahasiswa di Indonesia untuk ikut terlibat aktif dalam gerakan ketahanan pangan nasional.
“Negara membutuhkan energi muda yang berani, cerdas, dan berpihak. Mahasiswa tidak lagi boleh berdiri di pinggir. Sudah saatnya mereka maju ke tengah panggung, bekerja bersama rakyat, mengawal negara, dan membangun sistem pangan yang adil, mandiri, dan berdaulat,” pungkasnya.