Jakarta, Indonara — Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, menyerukan pentingnya kehadiran kurikulum antipencabulan dalam satuan pendidikan di Indonesia, termasuk sekolah formal maupun lembaga berbasis keagamaan seperti pesantren.Anggota DPR RI Dapil Nusa Tenggara Barat (NTB) II Pulau Lombok, Lalu Hadrian Irfani.
Dalam pernyataannya yang diterima di Jakarta, Selasa (22/7), Lalu menekankan bahwa kurikulum tersebut harus dirancang secara lintas disiplin, dengan pendekatan yang mendalam terhadap perlindungan anak dan pendidikan etika.
"Kurikulum ini harus dirancang lintas disiplin, menginspirasi rasa hormat terhadap tubuh, mengajarkan batasan, mengenalkan hak-hak anak, serta membangun keberanian untuk berkata 'tidak' terhadap pelecehan," katanya.
Politikus dari Fraksi PPP itu mengajak seluruh jajaran DPR RI, khususnya Komisi X, untuk bersama-sama dengan pemerintah mendorong kementerian dan lembaga terkait agar menjadikan pendidikan antipencabulan sebagai bagian dari prioritas dalam kurikulum nasional.
"Pendidikan yang baik bukan hanya mengajarkan prestasi, tetapi juga melindungi martabat," tegasnya.
Lalu menyoroti sejumlah negara Eropa yang telah lebih dahulu menerapkan pendidikan seksual berbasis perlindungan anak. Di Belanda, misalnya, terdapat program Kriebels in je buik (Butterflies in your stomach) yang dikenalkan sejak usia dini untuk menanamkan pemahaman mengenai batas tubuh, rasa aman, serta keberanian menolak sentuhan yang tidak nyaman.
Di Swedia, pendidikan relasi dan seksualitas bahkan telah menjadi bagian kurikulum sejak 1955. Pendekatan komprehensif yang terus diperbarui ini, menurut Lalu, terbukti efektif menurunkan angka kekerasan seksual sekaligus meningkatkan kesadaran sosial akan pentingnya keselamatan anak.
"Hasilnya, bukan hanya kasus pelecehan yang turun, tetapi kesadaran sosial kolektif terhadap pentingnya keselamatan anak meningkat secara signifikan," ujarnya.
Namun, Lalu menyayangkan bahwa di Indonesia, lembaga pendidikan seperti sekolah dan pesantren justru menjadi lokasi terjadinya berbagai kasus pencabulan terhadap anak.
"Namun, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya, tempat yang seharusnya menjadi rumah kedua bagi anak-anak kini berubah menjadi arena teror, tempat di mana kepercayaan dilukai dan harapan dikhianati," katanya.
Ia mengungkapkan bahwa tidak sedikit anak-anak usia sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) menjadi korban pencabulan, bahkan oleh guru, ustaz, atau pengasuh pondok pesantren.
"Ini bukan lagi soal moral individu. Ini soal sistem. Maka, negara harus hadir dengan langkah struktural," katanya menegaskan.
Lalu mengutip data terbaru dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) yang mencatat adanya 573 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan sepanjang tahun 2024. Dari jumlah tersebut, 42 persen merupakan kasus pencabulan, menjadikannya bentuk kekerasan paling dominan. Lebih memprihatinkan, 36 persen dari kasus-kasus tersebut terjadi di lembaga pendidikan berbasis agama seperti pesantren dan madrasah.
"Ironisnya, 42 persen di antaranya adalah pencabulan, menjadikannya bentuk kekerasan paling dominan di satuan pendidikan. Sebanyak 36 persen kasus bahkan terjadi di lembaga pendidikan berbasis agama, termasuk pesantren dan madrasah," katanya.
Melihat situasi yang mengkhawatirkan ini, Lalu menilai sudah waktunya semua pihak tidak hanya fokus pada sanksi dan penindakan terhadap pelaku kekerasan seksual, tetapi juga menyentuh aspek pencegahan secara sistemik melalui pembaruan kurikulum nasional.
Menurutnya, untuk menghapus praktik pencabulan di lingkungan pendidikan secara menyeluruh, pemerintah bersama DPR RI perlu menempuh empat langkah strategis.
Langkah pertama adalah menyusun kurikulum berbasis pencegahan pencabulan di sekolah dan pesantren dengan pendekatan budaya lokal serta nilai-nilai keagamaan yang rahmatan lil ‘alamin.
"Kedua, pelatihan guru, pembina pesantren, dan seluruh tenaga kependidikan untuk memahami etika relasi kekuasaan dan sensitivitas perlindungan anak," katanya.
Langkah ketiga, lanjutnya, adalah menyediakan mekanisme pelaporan yang aman dan berpihak kepada korban, termasuk di pesantren yang selama ini seringkali tertutup dari pengawasan eksternal.
Sementara langkah keempat adalah memodelkan sekolah dan pesantren sebagai zona aman atau Safe School and Pesantren Zone, guna menjadi contoh keberhasilan pendekatan preventif yang bisa direplikasi secara nasional.
"Saya percaya, bangsa ini masih memiliki nurani, tapi nurani itu harus diperkuat oleh kebijakan yang berpihak dan regulasi yang tegas. Kita tidak bisa lagi menormalisasi kekerasan atas nama pendidikan," papar Lalu.
Di akhir pernyataannya, ia menyampaikan kegelisahannya atas semakin banyaknya anak-anak yang justru menjadi korban kekerasan seksual dari mereka yang seharusnya bertugas sebagai pelindung.
"Kita tidak bisa diam saat tubuh dan jiwa anak-anak kita dihancurkan oleh mereka yang sejatinya harus menjadi pelindung," ucapnya penuh penekanan.