Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa pemerintah tidak akan terburu-buru dalam melaksanakan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia menekankan pentingnya pendekatan berbasis sosialisasi dan komunikasi intensif kepada masyarakat setempat.
“Kita pertama adalah
(melakukan) sosialisasi. Kita sosialisasikan secara baik. Kalau memang
saudara-saudara kita di sana masih mempertimbangkan, ya kita tetap komunikasi
dulu. Jangan dulu kita lakukan,” kata Bahlil saat ditemui di Bondowoso, Jawa
Timur, Kamis (26/6/2025) sebagaimana dilansir oleh Antara.
Menurutnya, pengadaan proyek
energi panas bumi semacam ini tidak bisa dilaksanakan secara serampangan.
Diperlukan pendekatan yang hati-hati dan dialog terbuka dengan masyarakat yang
tinggal di sekitar lokasi proyek.
“Tetapi bagi daerah-daerah yang
memang saudara-saudara kita sudah ingin, pemerintahnya ingin, ya, itu dulu yang
kita prioritaskan,” kata Bahlil.
Ia juga menambahkan bahwa
pendekatan terhadap masyarakat harus memperhatikan kondisi psikologis dan
suasana batin mereka. Pemerintah, kata dia, akan mengedepankan proses yang
tidak memaksa dan mempertimbangkan keinginan warga.
“Jadi ini kan harus (dilakukan
pendekatan) psikologis. Suasana kebatinan harus semuanya baik, ya. Kita akan
upayakan dengan baik,” tambahnya.
Bahlil juga menyebut bahwa
komunikasi yang menyeluruh menjadi kunci keberhasilan rencana ini. Ia
menegaskan pentingnya melibatkan seluruh pihak terkait, terutama masyarakat di
wilayah sasaran proyek.
“Rencana itu akan baik kalau
semuanya bisa menerima. Kalau belum bisa menerima, jangan dulu kita melakukan
secara tergesa-gesa,” ujar dia.
Penegasan ini muncul di tengah
meningkatnya gelombang penolakan terhadap proyek PLTP di wilayah Flores dan
Lembata, NTT. Penolakan tersebut datang dari masyarakat adat, tokoh agama,
serta berbagai organisasi lingkungan hidup.
Mereka menyuarakan kekhawatiran
atas dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh proyek tersebut, termasuk
kerusakan terhadap sumber air, potensi pelepasan gas berbahaya, serta hilangnya
lahan dan ruang hidup masyarakat. Di samping itu, proyek ini juga dikhawatirkan
dapat memicu konflik sosial baru.
Komunitas di wilayah terdampak
meminta agar pemerintah mengedepankan solusi energi terbarukan yang lebih
partisipatif dan berkelanjutan. Mereka juga menuntut perlindungan terhadap
masyarakat adat dan kelompok rentan, serta menekankan pentingnya transparansi
dalam proses perencanaan dan pelaksanaan proyek.
Dengan respons hati-hati yang
ditunjukkan oleh Menteri ESDM, muncul harapan agar pemerintah dapat
mengedepankan pendekatan yang lebih inklusif dan menghormati hak serta suara
masyarakat lokal dalam setiap pembangunan energi di Tanah Air.