![]() |
Anak-anak usia sekolah menikmati hari libur sambil main gadget di hamparan pasir putih di halaman rumah warga Dusun Pasaran, Desa Legung Timur, Batang-Batang, Sumenep. (Foto: Radarmadura) |
Di timur Pulau Madura, tersembunyi sebuah desa kecil yang diam-diam menyimpan kearifan lokal luar biasa. Desa Legung Timur di Kecamatan Batang-Batang, Kabupaten Sumenep, menyuguhkan sesuatu yang tidak akan kita temukan di kota mana pun, bahkan di desa-desa lain sekalipun.
Kampung ini tidak dipenuhi
rumah-rumah bertingkat atau bangunan dengan ubin mengilap, melainkan
rumah-rumah sederhana yang di dalamnya tak dijumpai kasur, karpet, atau sofa
empuk. Yang ada hanyalah hamparan pasir putih yang memenuhi lantai rumah—pasir
bersih dan halus yang digunakan warga sebagai tempat duduk, tidur, bermain,
hingga melahirkan. Inilah yang membuatnya dikenal luas sebagai Kampung Pasir.
Tradisi tidur dan hidup di
atas pasir di desa ini bukan sekadar pilihan fungsional atau bentuk
keterbatasan ekonomi. Ia adalah manifestasi dari warisan budaya yang telah
hidup selama puluhan tahun. Tak seorang pun warga bisa menyebut dengan pasti
kapan kebiasaan ini dimulai. Yang jelas, sejak mereka kecil, sejak orang tua
dan kakek nenek mereka dahulu, pasir sudah menjadi bagian dari keseharian,
seperti air dan udara yang menyatu dalam hidup.
Pasir yang mereka gunakan
bukan pasir sembarangan. Ia diambil dari kawasan Pantai Lombang, pantai eksotis
berpasir putih yang terletak tidak jauh dari desa. Setelah dibawa pulang, pasir
dijemur dan disaring dengan teliti hingga bersih dari kerikil, ranting, atau
benda-benda kecil lain yang bisa melukai kulit. Butiran halus dan bersih itulah
yang kemudian dihamparkan di ruang tamu, kamar tidur, hingga teras rumah.
Tak hanya satu-dua rumah;
hampir seluruh rumah di kampung ini mempraktikkan hal yang sama. Bahkan,
beberapa rumah yang telah direnovasi dan memiliki ubin tetap menyediakan satu
ruang khusus yang dilapisi pasir, sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi.
Tidur di atas pasir memang
bukan kebiasaan biasa bagi kebanyakan orang. Namun bagi warga Kampung Pasir,
itu adalah kenikmatan yang sulit digantikan. Mereka tidak butuh ranjang tinggi,
tidak perlu kasur mahal, cukup selembar tikar atau sarung tipis, dan tubuh
mereka terlentang di atas pasir hangat yang terasa alami. Setiap biji pasir
seolah memijat tubuh mereka, mengikuti lekuk punggung, menstabilkan posisi
tidur, dan menciptakan kenyamanan yang tidak dimengerti oleh orang luar sampai
mencobanya sendiri.
Warga percaya bahwa pasir
memiliki manfaat kesehatan yang nyata. Tidur di atas pasir disebut-sebut mampu
mengurangi keluhan pegal, rematik, bahkan gangguan pencernaan. Beberapa warga
lansia justru merasa lebih bugar ketika tetap mempertahankan tidur di atas
pasir dibanding tidur di atas kasur modern. Saat cuaca panas, pasir memberikan
kesejukan. Saat malam tiba dan udara Madura terasa menggigit, pasir justru
memancarkan kehangatan yang menenangkan. Ia menjadi penyeimbang alami bagi
tubuh.
Di tengah gempuran gaya hidup
modern yang membawa kasur busa, tempat tidur mewah, dan pendingin ruangan ke
pelosok desa, masyarakat Kampung Pasir tetap setia dengan pasirnya. Beberapa
keluarga muda yang sempat mencoba meninggalkan kebiasaan ini akhirnya kembali
karena tidak bisa mendapatkan kenyamanan yang sama dari teknologi modern.
Bahkan, banyak dari mereka yang bekerja di luar kota atau luar negeri membawa
oleh-oleh berupa pasir dari kampung halaman untuk sekadar memenuhi kerinduan
pada tidur masa kecil mereka.
Yang lebih menarik lagi, pasir
tidak hanya digunakan untuk tidur. Ia juga menjadi alas utama untuk bersantai,
menerima tamu, berkumpul bersama keluarga, bahkan melahirkan. Ya, hingga hari
ini, beberapa ibu di kampung itu masih memilih melahirkan di kamar beralaskan
pasir.
Menurut kepercayaan lokal,
pasir yang bersih dari laut membawa keberkahan, memberi ketenangan saat
kontraksi, dan membantu memperlancar proses persalinan. Kepercayaan ini bukan
tanpa bukti. Para bidan kampung mengakui bahwa melahirkan di atas pasir memang
memberi efek menenangkan dan mudah dibersihkan dibanding alas lainnya.
Kehidupan di Kampung Pasir
berjalan perlahan dan sederhana. Anak-anak bermain dengan bebas tanpa alas
kaki, merasakan tekstur pasir yang lembut di antara jari-jari mereka. Tak ada
yang melarang mereka duduk atau tidur beralaskan pasir meski baru saja pulang
bermain. Justru para orang tua merasa lebih tenang karena pasir dinilai lebih
bersih, asalkan dirawat dan disaring secara rutin. Bahkan ada tradisi menyapu
dan mengayak pasir dua kali sehari sebagai bentuk menjaga “kesehatan” rumah.
Pasir yang dianggap sudah tua atau lembab biasanya dibuang dan diganti dengan
yang baru dari pantai.
Meski terlihat sangat
tradisional, warga Kampung Pasir bukanlah orang-orang yang menutup diri
terhadap perkembangan zaman. Mereka tetap mengikuti berita nasional,
menyekolahkan anak-anak hingga jenjang tinggi, dan menggunakan teknologi
seperti ponsel dan internet. Namun, satu hal yang tidak mereka tinggalkan
adalah warisan budaya yang menurut mereka tidak bisa diganti oleh apapun. Bagi
mereka, hidup selaras dengan alam bukan hanya pilihan, melainkan kewajiban
moral. Pasir bukan hanya alas tidur, melainkan sahabat yang menemani sejak
lahir hingga akhir hayat.
Seiring waktu, keunikan
Kampung Pasir mulai menarik perhatian dari luar. Beberapa konten kreator,
jurnalis, dan pegiat wisata datang dan mengabadikan kehidupan di kampung ini
dalam bentuk video, tulisan, dan dokumenter. Semakin banyak orang yang penasaran
dan ingin merasakan langsung tidur di atas pasir. Dari sinilah gagasan
menjadikan Kampung Pasir sebagai desa wisata budaya mulai tumbuh.
Warga menyambut gagasan ini
dengan antusias. Beberapa rumah mulai membuka homestay sederhana dengan konsep
alami, di mana pengunjung bisa merasakan pengalaman tidur di atas pasir, makan
masakan tradisional Madura, dan belajar langsung tentang filosofi hidup
masyarakat setempat. Anak-anak muda mulai belajar menjadi pemandu wisata,
sementara ibu-ibu membuka warung kecil yang menjual kuliner khas seperti pentol
ikan, keripik lorjuk, dan kue apem.
Namun, semua ini tentu tidak
berjalan tanpa tantangan. Akses jalan menuju kampung masih rusak dan sulit
dilalui kendaraan besar. Infrastruktur dasar seperti toilet umum, tempat
ibadah, dan tempat parkir masih sangat terbatas. Apalagi jika wisatawan datang
dalam jumlah besar, kenyamanan warga pun bisa terganggu jika tak diatur dengan
bijak. Oleh karena itu, warga berharap dukungan nyata dari pemerintah daerah
dan dinas pariwisata. Bantuan tidak hanya berupa dana, tapi juga pendampingan
manajemen wisata, pelatihan promosi digital, hingga pembangunan jalan dan
fasilitas dasar.
Apa yang dimiliki Kampung
Pasir bukan hanya daya tarik wisata, melainkan nilai-nilai hidup yang sangat
berharga di tengah dunia yang kian kehilangan akarnya. Ketika sebagian besar
masyarakat modern sibuk mengejar kenyamanan artifisial, kampung ini justru
menunjukkan bahwa kenyamanan bisa datang dari hal yang paling alami, paling
sederhana, dan paling dekat dengan kita—pasir di bawah telapak kaki.
Kini, Kampung Pasir bukan lagi
hanya milik masyarakat Legung Timur. Ia menjadi milik semua orang yang ingin
belajar tentang hidup yang membumi, sederhana, dan bersyukur. Sebuah tempat
yang mengajarkan bahwa kita tidak perlu selalu menambah untuk merasa cukup.
Cukup dengan apa yang ada, kita bisa merasa berkelimpahan.
Mereka yang pernah berkunjung
ke Kampung Pasir tahu bahwa pengalaman itu akan membekas lama. Bukan karena
keindahan arsitekturnya, bukan pula karena megahnya bangunan, tapi karena
sesuatu yang lebih dalam: rasa tenang yang timbul saat tubuh menyentuh bumi,
saat kita menyadari bahwa kenyamanan sejati datang bukan dari benda, tapi dari
hubungan kita dengan alam dan sesama manusia.