Khofifah Absen dari KPK, LIRA Jatim: Sudah Cukup Bukti Ditetapkan Tersangka

Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa,
Surabaya, Indonara - Ketidakhadiran Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, dalam pemanggilan resmi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (20/6/2025), memunculkan kontroversi dan pertanyaan publik. Khofifah beralasan memiliki agenda lain, namun penolakan hadir ini justru memicu spekulasi bahwa ada sesuatu yang disembunyikan.

Pemanggilan terhadap Khofifah berkaitan dengan kasus dugaan korupsi dana hibah Kelompok Masyarakat (Pokmas) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jawa Timur tahun 2021–2022. Kasus ini menyentuh langsung pada alokasi dana publik yang menjadi perhatian luas masyarakat. KPK diketahui telah melayangkan surat pemanggilan kepada Khofifah pada Jumat (13/6/2025), namun baru dijawab olehnya lima hari kemudian, yakni pada Rabu, 18 Juni.

“Ada keperluan lainnya,” ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo.

Sikap Khofifah tersebut mendapat sorotan tajam dari Gubernur LIRA Jawa Timur, Samsudin. Ia mengecam ketidakhadiran Khofifah sebagai bentuk manuver politik yang mencederai prinsip transparansi dan akuntabilitas.

Menurut Samsudin, sebagai pejabat publik, Khofifah seharusnya menunjukkan komitmen terhadap penegakan hukum dengan menghadiri panggilan dari KPK. Tidak hadirnya Khofifah dalam panggilan resmi ini, lanjut Samsudin, berpotensi menimbulkan kesan pelecehan terhadap lembaga penegak hukum dan berakibat menurunnya kepercayaan publik terhadap kepemimpinannya.

“Kami menilai sudah cukup bukti dan alasan hukum bagi KPK untuk menetapkan Khofifah sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana hibah Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim. Ketidakhadirannya dalam panggilan resmi KPK mencerminkan dugaan kuat adanya sesuatu yang ditutupi,” ujar Samsudin saat dihubungi, Sabtu (21/6/2025).

Menurut Samsudin, berdasarkan temuan LIRA dan berbagai data yang dihimpun, KPK seharusnya telah memiliki cukup bukti untuk menjerat Gubernur Khofifah. Ia menyebutkan bahwa dana hibah yang digelontorkan diduga melampaui batas maksimal 10 persen dari total belanja APBD, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 77 Tahun 2020.

Lebih lanjut, LIRA mengungkapkan adanya indikasi pelanggaran serius dalam laporan pertanggungjawaban dana hibah. Banyak dokumen LKPJ disebut dibuat dengan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) fiktif yang diduga kuat direkayasa. Temuan ini menandakan bahwa persoalan bukan hanya administratif, melainkan juga mengarah pada pidana berat. Tindakan tersebut melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), serta melanggar Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen dan Pasal 421 KUHP mengenai penyalahgunaan kekuasaan.

Sementara itu, terkait peran Khofifah dalam pencairan dana hibah tersebut, pernyataan datang dari mantan Ketua DPRD Jatim. Ia menyebut bahwa pencairan dana hibah dilakukan setelah melalui proses pembahasan yang juga melibatkan kepala daerah.

“Ya dana hibah itu kan proses ya, ini proses ya, bukan materi. Ya itu kan dibicarakan bersama-sama dengan kepala daerah,” ujar dia di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (19/6/2025).

Samsudin kembali menegaskan pentingnya keadilan sosial dalam konteks kasus ini. Ia menyatakan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui serta mengawasi penggunaan dana publik. Dalam sistem demokrasi yang sehat, media dan organisasi masyarakat sipil seperti LIRA memiliki peran sah sebagai pengawas kekuasaan. Oleh karena itu, kritik tajam terhadap pejabat publik bukanlah bentuk serangan politik semata, melainkan ekspresi dari kontrol sosial yang bertanggung jawab.

Jika pejabat tinggi tidak dapat dijangkau oleh hukum, menurut Samsudin, maka krisis kepercayaan terhadap institusi penegakan hukum akan makin dalam. KPK diharapkan mampu menunjukkan bahwa semua warga negara, tanpa terkecuali, memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum.

”Khofifah masih memiliki ruang untuk membuktikan integritasnya. Pemimpin bagaimana pun juga mesti hadir saat dimintai pertanggungjawaban, apalagi jika menyangkut uang rakyat,” ujar dia.

Ketidakhadiran Khofifah kini menjadi sorotan, bukan hanya dalam konteks hukum, tapi juga menyangkut moralitas dan etika jabatan publik. Masyarakat menanti langkah KPK selanjutnya, sekaligus menunggu apakah Khofifah akan mengambil langkah untuk menjawab keraguan publik dan membuktikan integritasnya sebagai kepala daerah.