Ketua KOPRI PB PMII, Wulan Sari Aliyatus Sholikhah
Jakarta, Indonara - Ketua
Korps PMII Putri (KOPRI) Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PB PMII), Wulan Sari Aliyatus Sholikhah, melayangkan kecaman keras terhadap
pernyataan Fadli Zon yang dianggap meremehkan tragedi kemanusiaan Mei 1998.
“Kekerasan seksual bukan isu politik, ini adalah isu
kemanusiaan. Tragedi Mei 1998 adalah luka kolektif bangsa ini yang tak boleh
dibungkam atas nama kenyamanan politik,” tegas Wulan dalam pernyataannya.
Ia menyoroti posisi rentan perempuan Tionghoa pada saat
tragedi tersebut terjadi. Mereka, menurut Wulan, mengalami kekerasan dalam tiga
lapis identitas: sebagai perempuan, warga sipil, dan bagian dari kelompok etnis
minoritas yang selama ini terdiskriminasi.
“Ketidakadilan struktural ini tidak bisa dibenarkan,
apalagi dihapuskan dari ingatan publik,” ujarnya.
Wulan menekankan bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk
memberikan pengakuan, keadilan, dan pemulihan bagi para korban. “Jika negara
memilih membungkam suara korban, maka kita semua telah gagal sebagai bangsa,”
lanjutnya.
Ia juga mengajak seluruh elemen masyarakat, terutama
generasi muda, aktivis perempuan, dan gerakan mahasiswa untuk tetap konsisten
memperjuangkan kebenaran dan menolak upaya pelupaan sejarah.
“Kebenaran memang menyakitkan. Tetapi diam atas kebohongan
adalah kejahatan yang lebih besar. Saat negara lebih memilih kenyamanan
dibanding kejujuran, maka keberpihakan kita harus jelas: berpihak pada ingatan,
pada korban, dan pada kemanusiaan,” pungkas Wulan.
Dalam pernyataannya, Wulan kembali mengingatkan bahwa dalam
Tragedi Mei 1998, banyak perempuan Tionghoa menjadi korban kekerasan brutal.
“Mereka dipukuli, dihina, bahkan diperkosa secara keji
dalam aksi-aksi massa yang diwarnai kebencian rasial dan seksisme. Tubuh mereka
dipolitisasi dan dijadikan simbol pelampiasan kemarahan,” kata Wulan. “Kini,
setelah lebih dari dua dekade, luka itu seolah hendak dihapus dari ingatan
kolektif bangsa,” tambahnya.
Padahal, Presiden BJ Habibie pernah menyatakan penyesalan
atas tragedi itu secara terbuka pada 14 Agustus 1998 di hadapan DPR RI. Tim
Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mencatat sedikitnya 85 kasus kekerasan seksual,
termasuk 52 kasus pemerkosaan, mayoritas menimpa perempuan Tionghoa dan
dilakukan secara berkelompok.
“Sayangnya, meski fakta-fakta itu sudah terang, negara
dinilai tidak pernah menindaklanjuti temuan tersebut secara serius. Komnas
Perempuan bahkan sejak 1999 melaporkan bahwa sebagian besar korban memilih
bungkam karena trauma mendalam, rasa takut, dan tekanan sosial yang
berkelanjutan,” tutup Wulan.