Jakarta, Indonara - Pernyataan Ketua Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ulil Abshar Abdalla alias Gus Ulil, yang menyebut
kelompok penolak tambang seperti Greenpeace dan Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (Walhi) sebagai “wahabi lingkungan”, menuai kritik dari berbagai
kalangan. Kritik itu datang karena pernyataan tersebut dinilai tidak berpihak
pada masyarakat kecil yang hidupnya bergantung pada kelestarian sumber daya
alam.
Anggota Komisi IV DPR RI,
Daniel Johan, menyayangkan pernyataan tersebut. Ia menegaskan bahwa menjaga
ruang hidup rakyat seperti hutan, tanah pertanian, laut, dan wilayah pesisir
adalah hal yang penting untuk menjaga keberlanjutan ekosistem dan kehidupan
masyarakat.
“Fakta di lapangan
menunjukkan bahwa justru atas nama pembangunan dan maslahat nasional,
masyarakat kecil yang menggantungkan hidup pada sumber daya alam secara lestari
dipaksa menyerah,” ujar Daniel Johan kepada wartawan, Rabu (18/6/2025).
Daniel mengingatkan bahwa
eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan telah banyak menimbulkan dampak
buruk bagi masyarakat. Ia menyebut penggusuran, kriminalisasi warga, dan
kemiskinan struktural sebagai konsekuensi nyata dari praktik pertambangan yang
tidak terkendali.
Ia juga mengkritisi
pernyataan dari pihak PBNU yang menyebut bahwa tambang bukanlah kejahatan,
melainkan yang buruk adalah praktik tambang yang salah atau bad mining. Menurut
Daniel, kerusakan alam yang terjadi akibat aktivitas tambang di Indonesia sudah
sangat parah.
“Realitanya, kerusakan
yang dihasilkan oleh tambang di Indonesia sudah terlalu besar, terlalu dalam,
dan terlalu sering dimaklumi,” tegasnya.
Legislator dari Fraksi
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu mencontohkan kasus pertambangan di Raja
Ampat, Papua Barat Daya, yang menurutnya seharusnya menjadi pengingat penting.
Kawasan konservasi kelas dunia itu, yang menjadi rumah bagi keanekaragaman
hayati laut tertinggi di dunia, nyatanya tetap disusupi oleh kepentingan
industri ekstraktif.
Daniel pun mengapresiasi
langkah Presiden Prabowo Subianto yang mencabut empat izin tambang di wilayah
Raja Ampat. Namun, ia mempertanyakan nasib ratusan izin tambang lain yang
berada di wilayah tangkapan air, hutan produksi rakyat, hingga pesisir yang
selama ini menjadi penopang ketahanan pangan nasional.
“Tapi bagaimana dengan
ratusan izin lain di wilayah tangkapan air, hutan produksi rakyat, dan wilayah
pesisir yang jadi penyangga pangan?” tanyanya.
Lebih lanjut, Daniel menegaskan bahwa keadilan ekologis tidak boleh dikorbankan hanya demi pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Negara, katanya, seharusnya berpihak pada petani dan nelayan yang selama ini terbukti menjaga alam dengan cara yang jauh lebih lestari dibandingkan industri tambang.
“Jika tidak, ketahanan pangan dan ekosistem nasional tinggal menjadi angan-angan semata,” pungkasnya.