Sarinah: Warisan Bung Karno yang Terlupakan, Perempuan sebagai Fondasi Bangsa

Kegiatan diskusi di Ruang Literasi Kaliurang, Sleman, DIY.
Yogyakarta, Indonara - Pemikiran Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno, tentang perempuan dinilai sangat progresif dan mendahului zamannya. Gagasan tersebut tertuang dalam buku Sarinah, di mana Bung Karno dengan tegas menyatakan bahwa perempuan bukan sekadar pelengkap dalam masyarakat, melainkan fondasi utama dalam pembangunan bangsa. Buku Sarinah sendiri tercatat sebagai karya pertama di Asia yang membahas emansipasi perempuan dan ditulis langsung oleh seorang kepala negara.

Dalam rangka menghidupkan kembali pemikiran revolusioner tersebut, Ruang Literasi Kaliurang menggelar diskusi bertajuk “Sarinah, Narasi Perempuan dalam Pembangunan Bangsa” pada Sabtu, 28 Juni 2025. Diskusi ini merupakan bagian dari rangkaian acara Satu Pekan Bersama Bung Besar yang digagas oleh Ruang Literasi Kaliurang bekerja sama dengan MPR RI, BPIP, Yayasan Bumi Pancasila, dan Yayasan Bung Karno.

Acara diskusi menghadirkan dua narasumber, yaitu Fanda Puspitasari dari DPP GMNI dan akademisi Fakultas Hukum UGM, Sri Wiyanti Eddyono, dengan dipandu oleh moderator Wasingatu Zakiyah. Forum ini tidak hanya menjadi ajang refleksi sejarah, tetapi juga sebagai upaya konkret menghidupkan kembali semangat literasi dan pemikiran para pendiri bangsa.

Deputi Bidang Hubungan Antar Lembaga, Sosialisasi, Komunikasi, dan Jaringan BPIP, Prakoso, menegaskan bahwa kegiatan ini bukan semata seremoni belaka, melainkan bagian dari gerakan literasi yang bertujuan menjaga warisan pemikiran para pendiri bangsa, khususnya Bung Karno.

“Pemikiran Bung Karno, khususnya tentang perempuan, adalah warisan berharga yang harus terus hidup di tengah masyarakat. Ini adalah bentuk keteladanan yang relevan sepanjang masa,” tegas Prakoso.

Sementara itu, Kepala BPIP Yudian Wahyudi dalam sambutannya mengingatkan kembali konteks besar dari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Menurutnya, kemerdekaan yang diraih bukan hanya membebaskan wilayah Nusantara yang terdiri dari sedikitnya 57 kerajaan dan negara, tetapi juga membuktikan kekuatan pemikiran rakyat sipil dalam situasi global yang genting.

“Kemerdekaan Indonesia dipelopori oleh kaum sipil di tengah situasi Perang Dunia II, sebuah bukti bahwa bangsa ini besar karena kekuatan rakyat dan pemikirannya, bukan semata kekuatan militer,” ujar Yudian.

Dalam diskusi, Sri Wiyanti menyoroti bahwa gagasan Bung Karno tentang perempuan sangat luar biasa dan bahkan melampaui zaman di mana ia hidup. Namun, ia juga menambahkan catatan kritis terkait kehidupan pribadi Bung Karno yang masih menyisakan sejumlah persoalan dalam relasinya dengan isu perempuan. Pandangan ini mengajak peserta diskusi untuk memahami pemikiran Bung Karno secara holistik, tidak hanya dari teks, tetapi juga dari praksis kehidupan.

Fanda Puspitasari, di sisi lain, menekankan pentingnya memahami sosok Sarinah secara lebih dalam. Menurutnya, Sarinah adalah perempuan dari kalangan bawah yang menjadi pengasuh Bung Karno semasa kecil. Dari Sarinah-lah Bung Karno mengenal nilai-nilai kemanusiaan, kepedulian, dan keadilan sosial.

“Bagi Bung Karno, perempuan adalah tiang utama bangsa. Tanpa perempuan yang merdeka, bangsa ini tidak akan pernah benar-benar merdeka,” tandas Fanda.

Diskusi ini menjadi pengingat penting bahwa emansipasi perempuan menurut Bung Karno tidak hanya sebatas pada persoalan kesetaraan hak. Lebih dari itu, perempuan dilihat sebagai agen perubahan dan revolusi yang berperan besar dalam proses pembangunan bangsa. Pemikiran tersebut tetap relevan hingga hari ini, terutama dalam konteks perjuangan perempuan untuk mendapatkan tempat yang adil dalam ranah sosial, politik, dan ekonomi Indonesia.