![]() |
Khofifah Indar Parawansa Gubernur Jatim waktu menghadiri Sidang Terbuka Program Doktor Pendidikan Agama Islam (PAI) di Universitas Islam Malang, Senin (28/4/2025). Foto: Dok Humas Pemprov Jatim. |
Prof Basuki menilai pemanggilan kepala daerah oleh lembaga antirasuah merupakan hal yang lumrah. Hal ini mengacu pada posisi kepala daerah sebagai pemegang kekuasaan dalam pengelolaan keuangan daerah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“Kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah. Jadi kalau gubernur dimintai keterangan itu sangat wajar. Tapi yang perlu dicatat jikalau ada seseorang diperiksa sebagai saksi, belum tentu mereka terlibat,” tegas Prof Basuki dalam keterangannya yang diterima, Jumat (11/7/2025).
Khofifah sendiri telah menjalani pemeriksaan sebagai saksi pada Kamis (10/7/2025) di Mapolda Jatim. Pemeriksaan tersebut berkaitan dengan dugaan penyelewengan dana hibah yang bersumber dari APBD Jatim.
Prof Basuki menjelaskan bahwa dalam proses penyidikan, KPK tentu membutuhkan berbagai keterangan untuk mengungkap fakta. Keterangan tersebut bisa berasal dari saksi, ahli, hingga tersangka. Menurutnya, kesaksian menjadi unsur penting karena diberikan oleh pihak yang mengetahui, mendengar, atau mengalami langsung suatu peristiwa.
“Dan keterangan saksi itupun tidak berdiri sendiri karena nantinya akan dicocokkan dan dilihat apakah memiliki kesesuaian, berelevansi dengan data yang lain,” ujarnya.
Ia menambahkan, konteks kasus ini berkaitan dengan alokasi dana hibah untuk pokmas yang berasal dari hasil pokok-pokok pikiran (pokir) anggota DPRD, sebagai bagian dari mekanisme perencanaan pembangunan daerah.
“Kalau gubernur tidak diperiksa ya akan menjadi aneh karena produknya pengeluaran anggaran kan pergub. Tapi kembali lagi yang ditekankan, tidak selalu yang diperiksa sebagai saksi adalah pihak yang terlibat dalam permufakatan jahat,” imbuh Prof Basuki.
Lebih lanjut, Prof Basuki menjelaskan bahwa dana hibah tersebut dialokasikan berdasarkan pokir DPRD, yakni hasil dari reses atau rapat dengar pendapat, yang kemudian menjadi acuan dalam penyusunan APBD. Dalam hal ini, keterlibatan legislatif dan eksekutif menjadi bagian dari proses perencanaan hingga penetapan anggaran.
“Prinsipnya dalam hukum pidana siapa yang melakukan kesalahan, maka dialah yang dimintai tanggung jawab pidana. Dalam pemberian hibah pasti melibatkan eksekutif dengan legislatif dalam perencanaan dan penganggaran sampai ditetapkannya APBD,” tegasnya.
Sebagaimana diketahui, KPK telah menetapkan 21 orang sebagai tersangka dalam kasus ini. Dari jumlah tersebut, empat merupakan penerima suap, sementara 17 lainnya adalah pemberi suap.
Rinciannya, empat penerima suap terdiri dari tiga penyelenggara negara dan satu staf penyelenggara negara. Sementara dari pihak pemberi suap, 15 merupakan pihak swasta dan dua lainnya adalah penyelenggara negara.
“Jika kemudian dalam pelaksanaannya ada pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian daerah, maka pihak tersebutlah yang harus bertanggung jawab,” pungkas Prof Basuki.