![]() |
| Fenomena Angin Monsun Australian dalam pantauan BMKG. [Dok. bmkg.go.id] |
Jakarta, Indonara - Fenomena bediding atau suhu dingin yang melanda sejumlah wilayah Indonesia mulai terasa, terutama di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut kondisi ini sebagai hal yang lumrah terjadi setiap musim kemarau, umumnya berlangsung pada Juli hingga September.
Deputi Meteorologi BMKG, Guswanto, memaparkan bahwa fenomena cuaca dingin ini diprediksi akan terus berlangsung hingga akhir Juli.
“BMKG memprakirakan bahwa suhu dingin ini akan terus terjadi hingga menjelang akhir Juli, dengan suhu di Jakarta dan sekitarnya mencapai 25-27 derajat Celcius pada pagi hingga siang hari, dan turun menjadi 25 derajat Celcius pada malam hari,” ujar Guswanto, pada Senin (30/6).
Menurutnya, suhu dingin yang terjadi saat musim kemarau disebabkan oleh pergerakan Angin Monsun Australia yang bertiup menuju Benua Asia. Angin ini melewati wilayah Indonesia dan perairan Samudera Hindia yang memiliki suhu permukaan laut relatif rendah.
“Angin ini bersifat kering dan sedikit membawa uap air, sehingga pada malam hari suhu mencapai titik minimumnya dan udara terasa lebih dingin,” jelasnya.
Selain itu, keberadaan badai tropis di wilayah utara Indonesia, khususnya di sebelah timur Filipina, turut memperkuat aliran udara dari Australia ke Asia, sehingga menyebabkan wilayah Jawa bagian barat mengalami suhu yang lebih dingin.
Secara klimatologis, fenomena bediding tergolong wajar karena berkaitan dengan kondisi atmosfer saat musim kemarau. Langit yang cerah dan minim awan membuat panas bumi langsung dilepaskan ke atmosfer luar, menyebabkan udara permukaan terasa lebih dingin, khususnya pada malam hingga pagi hari.
BMKG juga mengimbau masyarakat agar tetap waspada terhadap dampak suhu dingin terhadap kesehatan, meskipun fenomena ini tergolong normal.
Suhu dingin pada musim kemarau ini kerap disangkutpautkan dengan fenomena aphelion, yaitu saat Bumi berada pada titik terjauh dari Matahari. Namun, BMKG menegaskan tidak ada hubungan sebab-akibat antara keduanya.
“Jadi suhu yang sifatnya terasa lebih dingin khususnya malam itu, sebenarnya sifat musiman yang karakteristiknya khas terjadi, kalau masyarakat Jawa bilangnya bediding. Itu sebenarnya tidak ada kaitannya dengan dengan fenomena Aphelion secara sebab akibat, tetapi dia memang pada saat yang bersamaan,” ujar Ardhasena Sopaheluwakan, Deputi Bidang Klimatologi BMKG.
Ia menegaskan bahwa fenomena aphelion memang terjadi setiap tahun, namun bukan penyebab utama suhu dingin yang dialami saat ini. Menurutnya, suhu dingin dipicu oleh angin muson dari Australia yang membawa udara lebih kering.
“Mengenai hawa dingin yang sekarang itu sebenarnya lebih didominasi oleh kejadian yang di selatan khatulistiwa, khususnya yang di Pulau Jawa, Jawa Tengah, Jawa Timur. Itu karena udara kering yang dari Australia, monsun Australianya sifatnya lebih kering,” tuturnya.
“Sehingga ketika malam itu terasa lebih dingin dan siang pun tidak sepanas pada saat bulan-bulan lainnya, di mana uap air lebih banyak dan kita merasakan lebih sumuk,” imbuh Ardhasena.
Ia menambahkan, bila aphelion benar menjadi penyebab utama suhu dingin, maka seharusnya efeknya terasa di seluruh wilayah Bumi, karena fenomena tersebut berskala planet. "Kenyataannya, suhu dingin lebih terasa di wilayah selatan khatulistiwa, terutama Indonesia bagian selatan," pungkasnya.
