![]() |
Arip Muztabasani, Sekretaris Nasional BEM PTNU. [Dok. Indonara] |
Jakarta, Indonara - Badan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (BEM PTNU)
Se-Nusantara menyatakan sikap kritis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
yang menetapkan pemisahan antara Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah. Mereka
menilai keputusan tersebut, berpotensi menggerus semangat demokrasi
konstitusional dan mengabaikan prinsip-prinsip dasar yang diamanatkan dalam UUD
1945.
Sekretaris Nasional BEM PTNU Se-Nusantara, Arip Muztabasani, menyebut bahwa
keputusan MK tersebut tidak selaras dengan Pasal 22E UUD 1945, yang menegaskan
bahwa pemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil. Pemisahan pemilu dinilai justru mengancam integritas dan keadilan
sistem demokrasi Indonesia.
“Pemisahan pemilu secara tidak terintegrasi ini bukan hanya tidak efisien,
tetapi juga menciptakan ketimpangan hak politik warga negara dan menurunkan
kualitas demokrasi kita,” katanya.
Kemudian Arip, menyoroti inkonsistensi MK yang membatalkan preseden dari
putusan sebelumnya, seperti Putusan MK No. 14/PPU-XI/2013 dan Putusan No. 55/PUU-XVII/2019.
Dalam putusan terdahulu, MK justru menegaskan pentingnya pemilu serentak sebagai
bagian dari penguatan sistem presidensial, dan menjaga keseimbangan antara
kekuasaan eksekutif dan legislatif.
“Pemilu serentak menjaga prinsip checks and balance. Kalau dipisah,
justru rawan terjadi disharmoni antara pusat dan daerah,” jelasnya.
Menurut Arip, terdapat tiga asas pokok demokrasi konstitusional yang
terganggu akibat pemisahan pemilu seperti asas efisiensi pemerintah. Karena
berpotensi menimbulkan pemborosan anggaran, kelelahan politik, dan mengganggu
kinerja pemerintah. Selain itu, asas persamaan hak pilih dan keadilan politik, yang
akan menyebabkan jadwal pemilu berbeda.
“Ketiga, asas kepastian hukum. Menciptakan ketidakpastian hukum, karena
bertolak belakang dengan keputusan MK sebelumnya tanpa argumentasi transisi
yang kuat,” tegasnya.
Melalui analisis BEM PTNU, Arip menyampaikan empat poin seruan kepada pemerintah dan lembaga terkait:
- DPR RI dan Pemerintah diminta menunda pelaksanaan putusan MK sampai ada kajian menyeluruh atas dampaknya secara hukum, sosial, dan fiskal.
- Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar tidak tergesa-gesa menyusun skema pemilu baru tanpa basis hukum transisi yang kokoh.
- MK diharapkan membuka kemungkinan uji ulang atau Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan tersebut.
- MK juga diminta membuka ruang partisipasi publik dalam menjelaskan argumentasi dan dasar hukum putusan secara transparan.
Di samping itu, Arip, menegaskan bahwa demokrasi tidak bisa dijalankan
hanya dengan pendekatan administratif. Perlu ada kesetiaan terhadap semangat
konstitusi dan perlindungan terhadap hak rakyat untuk memilih secara adil.
“Demokrasi tidak bicara soal prosedur saja, tetapi juga bicara soal keadilan elektorat, efisiensi sistem, dan hak rakyat untuk memilih dalam suasana yang utuh dan setara,” tutupnya.
BEM PTNU Se-Nusantara menyatakan akan terus mengawal isu-isu strategis yang menyangkut masa depan demokrasi Indonesia, dan mengajak seluruh elemen bangsa untuk bersuara atas putusan yang dianggap berpotensi membajak kedaulatan rakyat.