MK Larang Wakil Menteri Rangkap Jabatan, Pemerintah Diberi Waktu Dua Tahun

Enny Nurbaningsih Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) saat ditemui di Gedung MK, Jakarta, Jumat (5/4/2024) malam.
Jakarta, Indonara — Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan wakil menteri (wamen) tidak boleh merangkap jabatan, sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 128/PUU-XXIII/2025. Pemerintah diberi tenggang waktu selama dua tahun untuk menindaklanjuti aturan baru tersebut.

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam sidang di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (28/8/2025), menegaskan masa transisi itu diberikan agar tidak terjadi kekosongan hukum maupun ketidakpastian dalam pelaksanaan putusan.

“Mahkamah memandang perlu memberikan tenggang waktu bagi pemerintah untuk melakukan penyesuaian terhadap ketentuan larangan rangkap jabatan wakil menteri tersebut. Oleh karena itu, Mahkamah mempertimbangkan diperlukan masa penyesuaian dimaksud paling lama dua tahun sejak putusan a quo (ini) diucapkan,” ujar Enny, dikutip dari Antara.

Menurut Mahkamah, waktu dua tahun dinilai memadai bagi pemerintah untuk melakukan perubahan struktur, termasuk mengganti jabatan yang sebelumnya dirangkap.

“Dengan demikian, tersedia waktu yang cukup dan memadai bagi pemerintah untuk melakukan penggantian jabatan yang dirangkap tersebut oleh orang yang memiliki keahlian dan profesionalitas dalam mengelola perusahaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” kata Enny.

Putusan tersebut mengabulkan sebagian permohonan advokat Viktor Santoso Tandiasa. Awalnya, perkara itu diajukan bersama Didi Supandi, seorang pengemudi ojek daring, namun MK menilai Didi tidak memiliki kedudukan hukum.

Dalam amar putusannya, MK menambahkan secara eksplisit frasa “wakil menteri” ke dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, yang sebelumnya hanya melarang rangkap jabatan bagi menteri.

Dengan putusan itu, Pasal 23 UU Kementerian Negara kini dimaknai: “Menteri dan wakil menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD.”

Meski demikian, dua hakim menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Daniel Yusmic P. Foekh dan Arsul Sani.