Rakyat Tidak Dilibatkan, Mahasiswa Pati Tolak Kenaikan PBB 250 Persen

Arifa Widiasari, mahasiswa asal Pati yang juga menjabat sebagai Sekretaris Wilayah BEM PTNU D.I. Yogyakarta. [Dok. Istimewa]

Pati, Indonara - Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Kabupaten Pati yang mencapai hingga 250 persen menuai protes dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari Arifa Widiasari, mahasiswa asal Pati yang juga menjabat sebagai Sekretaris Wilayah BEM PTNU D.I. Yogyakarta. Ia menyuarakan keresahan warga atas kebijakan yang dinilai tidak adil dan minim partisipasi publik.

Dalam pernyataannya, Arifa menyebut bahwa kenaikan PBB-P2 tidak hanya mengejutkan, tetapi juga menyakitkan karena dilakukan tanpa dialog, transparansi, maupun sosialisasi yang menyentuh langsung masyarakat terdampak.

“Sebagai mahasiswa asal Pati sekaligus Sekretaris Wilayah BEM PTNU D.I. Yogyakarta, saya mewakili keresahan warga Pati yang dibebani dengan pajak tanpa pemahaman yang utuh. Ini bukan pembangunan, ini adalah bentuk penindasan yang dibungkus angka,” ujarnya.

Ia mempertanyakan dalih pembangunan yang dijadikan alasan oleh Pemerintah Kabupaten Pati dalam menaikkan tarif pajak tersebut. Menurutnya, pembangunan seharusnya berpihak kepada rakyat, bukan justru menambah beban terutama bagi kelompok rentan seperti petani dan pedagang kecil.

“Bupati memang mengatakan ini demi peningkatan PAD dan pembangunan. Tapi saya ingin bertanya: Pembangunan untuk siapa? Apakah ini berpihak pada petani yang lahannya terancam pajak tinggi? Pada pedagang kecil yang penghasilannya pas-pasan? Atau hanya untuk memenuhi target angka tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi warga?” lanjutnya.

Arifa juga menyoroti lemahnya proses sosialisasi yang hanya dilakukan di tingkat camat dan kepala desa. Menurutnya, hal itu belum cukup untuk menyentuh keseluruhan warga yang terkena dampak langsung.

“Pemerintah tidak boleh menutup mata. Sosialisasi hanya di tingkat camat dan kepala desa bukanlah sosialisasi massal. Rakyat butuh didengar, bukan hanya ruang bayar. Jika benar kebijakan ini berpihak pada rakyat, mengapa rakyat merasa ditinggalkan,” katanya.

Kritik tersebut muncul di tengah gelombang protes yang mulai merebak di berbagai titik di Kabupaten Pati. Warga menuntut agar kebijakan ini dikaji ulang dengan melibatkan masyarakat secara aktif.

“Saya dan warga Pati berharap kebijakan ini ditinjau ulang. Jangan tunggu keresahan berubah menjadi kemarahan. Buka ruang partisipasi publik. Libatkan warga dalam setiap proses pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan kami. Karena tanah ini bukan hanya milik pemerintah, tanah ini juga milik rakyat. Dan di tanah sendiri ini, kami tidak ingin dibungkam,” tegasnya.