Arifa Widiasari, mahasiswa asal Pati yang juga menjabat sebagai Sekretaris Wilayah BEM PTNU D.I. Yogyakarta. [Dok. Istimewa]
Dalam
pernyataannya, Arifa menyebut bahwa kenaikan PBB-P2 tidak hanya mengejutkan,
tetapi juga menyakitkan karena dilakukan tanpa dialog, transparansi, maupun
sosialisasi yang menyentuh langsung masyarakat terdampak.
“Sebagai
mahasiswa asal Pati sekaligus Sekretaris Wilayah BEM PTNU D.I. Yogyakarta, saya
mewakili keresahan warga Pati yang dibebani dengan pajak tanpa pemahaman yang
utuh. Ini bukan pembangunan, ini adalah bentuk penindasan yang dibungkus
angka,” ujarnya.
Ia
mempertanyakan dalih pembangunan yang dijadikan alasan oleh Pemerintah
Kabupaten Pati dalam menaikkan tarif pajak tersebut. Menurutnya, pembangunan
seharusnya berpihak kepada rakyat, bukan justru menambah beban terutama bagi
kelompok rentan seperti petani dan pedagang kecil.
“Bupati
memang mengatakan ini demi peningkatan PAD dan pembangunan. Tapi saya ingin
bertanya: Pembangunan untuk siapa? Apakah ini berpihak pada petani yang
lahannya terancam pajak tinggi? Pada pedagang kecil yang penghasilannya
pas-pasan? Atau hanya untuk memenuhi target angka tanpa mempertimbangkan
dampaknya bagi warga?” lanjutnya.
Arifa juga
menyoroti lemahnya proses sosialisasi yang hanya dilakukan di tingkat camat dan
kepala desa. Menurutnya, hal itu belum cukup untuk menyentuh keseluruhan warga
yang terkena dampak langsung.
“Pemerintah
tidak boleh menutup mata. Sosialisasi hanya di tingkat camat dan kepala desa
bukanlah sosialisasi massal. Rakyat butuh didengar, bukan hanya ruang bayar.
Jika benar kebijakan ini berpihak pada rakyat, mengapa rakyat merasa
ditinggalkan,” katanya.
Kritik
tersebut muncul di tengah gelombang protes yang mulai merebak di berbagai titik
di Kabupaten Pati. Warga menuntut agar kebijakan ini dikaji ulang dengan
melibatkan masyarakat secara aktif.