
Psikolog Universitas Paramadina Muhammad Iqbal, Ph.D.
Jakarta, Indonara - Banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menjadi perhatian khusus psikolog Universitas Paramadina Muhammad Iqbal, Ph.D. Ia menekankan, bencana banjir dan longsor ini bukan hanya merusak rumah, fasilitas publik, dan infrastruktur, tetapi juga memberikan dampak serius pada kesehatan fisik, emosional, dan psikologis masyarakat.
"Ribuan korban jiwa dilaporkan hilang, dan sebagian besar belum ditemukan. Kerugian ini bukan hanya mencerminkan krisis ekologis dan ekonomi, tetapi juga krisis kemanusiaan serta ancaman serius terhadap kesehatan mental masyarakat," kata dia dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat (5/12/2025).
Iqbal menyebutkan berdasarkan pengamatan dirinya di lapangan, terlihat dengan sangat jelas bahwa dampak psikologis penyintas tidak kalah berat dibanding kerusakan fisiknya. Banyak warga kehilangan orang yang dicintai, harta benda, lahan, ternak, serta penghasilan yang menjadi sumber kehidupan keluarga.
Semua itu, kata dia, membentuk tekanan mental yang sangat besar. Dampak psikologis setelah bencana, yakni Acute Stress Reaction, Anxiety Disorders, Prolonged Grief Disorder, dan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Penelitian menunjukkan bahwa sekitar 30–50 persen penyintas bencana besar dapat mengalami gejala PTSD dalam tiga bulan pertama.
UNICEF juga mencatat bahwa anak-anak dan lansia merupakan kelompok paling rentan mengalami dampak psikologis jangka panjang. Dalam observasi lapangan, masyarakat menunjukkan gejala seperti sulit tidur, mimpi buruk, ketakutan terhadap suara hujan atau gemuruh, penurunan minat aktivitas, menarik diri dari interaksi sosial, hingga gejala depresi.
"Aspek psikologis mutlak harus mendapat perhatian pemerintah untuk ditangani karena bencana menciptakan stressor ekstrem yang melebihi kapasitas coping seseorang. Ketika individu merasa tidak berdaya dan situasi dianggap tidak terkendali, muncul kecemasan, ketegangan, dan keputusasaan," tegas Iqbal menerangkan.
Kedua, sambung dia, trauma bukan sekadar ingatan buruk, tetapi pengalaman emosional yang terekam dalam tubuh. Muncul dalam bentuk hipervigilansi, ketegangan otot, dan reaksi panik terhadap pemicu tertentu. Ketiga, pemulihan trauma tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial, keluarga, komunitas, kebijakan pemerintah, hingga sistem budaya. Karena itu, dukungan psikososial harus diberikan secara berlapis dan komprehensif.
Selain itu, pemerintah perlu menangani masalah pascabencana dengan dukungan profesional. Dukungan psikososial dalam bentuk intervensi yang menangani dua aspek sekaligus mencakup psikologis, stres, trauma, kecemasan, kehilangan, dan sosial, relasi, lingkungan, keluarga, komunitas.
Satu pendekatan yang paling banyak digunakan adalah Psychological First Aid (PFA), yang dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan, relawan, guru, tokoh masyarakat, maupun responden darurat. Pendekatan PFA berfokus pada tiga prinsip utama, yakni protect, yaitu memastikan keselamatan fisik dan mengurangi paparan stres tambahan, connect, yaitu membangun dukungan sosial, empati, dan keterhubungan, dan empower, yakni membantu penyintas mendapatkan kembali perasaan mampu dan kendali.
Selanjutnya, kata Iqbal, penyintas memerlukan dukungan psiko-sosial. Dukungan psikososial bersifat berlapis, meliputi dukungan Individual, yaitu screening stres dan konseling sederhana, latihan grounding dan manajemen emosi, serta dukungan spiritual untuk memaknai kehilangan.
Kemudian, ddukungan keluarga, meliputi aktivitas keluarga (storytelling, relaksasi), edukasi orang tua tentang respon stres anak, dan penguatan peran keluarga sebagai unit dukungan utama.
Berikutnya yakni dukungan komunitas, meliputi safe space untuk anak dan lansia, kegiatan berbasis budaya lokal dan tokoh agama, serta kolaborasi puskesmas, sekolah, dan NGO.
Terakhir, dukungan sistem dan negara, meliputi integrasi layanan mental health dalam BNPB dan pemda, pelatihan massal PFA untuk relawan dan guru, serta anggaran rehabilitasi psikososial jangka panjang.
Lebih jauh Iqbal menambahkan, selain kebutuhan dasar seperti makanan, air, selimut, dan tempat tinggal sementara, penyintas memerlukan dukungan emosional berupa ruang aman untuk bercerita, terapi kelompok, aktivitas psikososial, dukungan komunitas solidaritas, interaksi sosial, dan pemulihan struktur sosial.
"Selain itu, dukungan informasi meliputi edukasi mitigasi, akses bantuan, dan literasi kesehatan mental, serta penguatan fungsi keluarga yang meliputi membantu keluarga stabil, pulih, dan bangkit," tambah Iqbal.
Tujuan akhirnya, jelas Iqbal, adalah membangun resiliensi jangka panjang agar penyintas tidak hanya pulih sementara, tetapi mampu menghadapi dan membangun kembali kehidupan pasca bencana. Penyintas bencana tidak hanya kehilangan rumah dan harta benda, tetapi juga kehilangan rasa aman, kendali hidup, dan kadang makna keberadaan.
"Oleh karena itu, dukungan psikososial harus menjadi bagian utama dari penanganan bencana. Bencana boleh merusak bangunan, tetapi jangan sampai meruntuhkan harapan dan martabat manusia," tutur Iqbal menegaskan.