![]() |
| Ketum PBNU Yahya Cholil Staquf saat memberikan pemaparan dalam acara Ngopi Bareng Gus Yahya dengan Sahabat Media di Gedung PBNU, Jakarta, Jumat (3/1/2025). (Foto: ANTARA) |
Jakarta, Indonara - Konflik dualisme kepemimpinan di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kian meruncing dan merambah ke ranah kendali sistem digital organisasi. Wakil Sekretaris Jenderal PBNU, KH. Imron Rosyadi Hamid (Gus Imron), secara terbuka menyebut bahwa aplikasi administrasi persuratan "Digdaya" telah dibajak untuk menerbitkan surat-surat ilegal.
Pernyataan keras ini disampaikan Gus Imron merespons beredarnya Surat Penegasan Rapat Pleno PBNU Nomor 4799/PB.03/A.I.01.01/99/12/2025 tertanggal 3 Desember 2025. Surat tersebut ditandatangani oleh KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dan Amin Said Husni, yang isinya dinilai melawan kebijakan Rais Aam.
Cacat Moral dan Material
Gus Imron menegaskan surat tersebut tidak memiliki kekuatan hukum karena mengandung dua cacat fatal: moral dan material.
Secara moral, tindakan Tanfidziyah (pelaksana) yang berusaha "mengatur" atau mengingatkan Syuriyah (pimpinan tertinggi) dinilai bertentangan dengan adab dan tradisi luhur NU.
"Dalam tradisi NU, tidak pernah ada pengurus Tanfidziyah mengatur atau bahkan mengingatkan Rais Aam sebagai pemimpin tertinggi jam’iyyah," tegasnya, Sabtu (6/12).
Secara material, legalitas penandatangan surat tersebut dipertanyakan. Gus Imron mengingatkan bahwa status Gus Yahya sebagai Ketua Umum telah dicabut oleh Rapat Syuriyah per tanggal 26 November 2025. Sementara itu, Amin Said Husni yang menandatangani sebagai Sekjen dinilai ilegal karena belum memiliki Surat Keputusan (SK) pengangkatan yang sah.
Skandal "Pembajakan" Digdaya
Poin paling mengejutkan yang diungkap Gus Imron adalah dugaan manipulasi sistem administrasi digital PBNU. Amin Said Husni disebut bisa menandatangani surat secara digital meski tanpa SK, berkat bantuan akses dari "Super Admin" aplikasi Digdaya.
Padahal, Rais Aam PBNU telah mengeluarkan perintah resmi pada 29 November 2025 untuk menangguhkan penggunaan aplikasi Digdaya di tingkat PBNU selama masa krisis ini.
"Di sini kelihatan sekali bahwa ormas Islam terbesar di dunia ini telah dibajak oleh pengembang aplikasi yang seharusnya berada pada level pelayanan administrasi," tandas Gus Imron.
Rapat Pleno 9-10 Desember Sah Secara Konstitusi
Di tengah upaya delegitimasi tersebut, Gus Imron memastikan bahwa Rapat Pleno PBNU yang diinisiasi Rais Aam pada 9–10 Desember di Jakarta akan tetap digelar dan sah secara hukum.
Dasar hukumnya merujuk pada regulasi terbaru organisasi:
Peraturan Perkumpulan (Perkum) NU No. 10/2025 Pasal 8 ayat (1): Mengatur bahwa rapat pleno dipimpin oleh Rais Aam.
Perkum NU No. 16/2025 Pasal 4 ayat (1): Memberi kewenangan kepada Rais Aam dan Katib untuk menandatangani surat undangan, termasuk undangan Rapat Pleno.
Dengan landasan tersebut, klaim kubu Gus Yahya bahwa undangan pleno harus ditandatangani Ketua Umum dianggap sudah kedaluwarsa dan tidak relevan.
"Jadi jelas, seluruh proses persiapan penyelenggaraan Rapat Pleno PBNU tanggal 9-10 Desember 2025 telah sesuai regulasi yang berlaku. Peserta pleno tidak perlu ragu," pungkas Rektor salah satu perguruan tinggi di Malang tersebut.
